Sabtu, 25 Juni 2016

INDUKSI KALUS EMBRIO PADI (Oryza sativa L.) VARIETAS IR64 DAN HELAI DAUN SERTA PETIOL TEMBAKAU (Nicotiana tabaccum)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan secara in-vitro mempunyai keuntungan yakni mampu menghasilkan tanaman dalam jumlah banyak tanpa bergantung pada kondisi geografis dan musim dari suatu tempat. Salah satu tujuan perbanyakan tanaman secara in-vitro yakni sebagai upaya pelestarian plasma nutfah. Wattimena et al. (1992) menyatakan bahwa pelestarian plasma nutfah secara in-vitro mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan dengan cara in-situ. Keuntungan tersebut antara lain: hemat dalam pemakaian ruang, dapat menyimpan tanaman langka yang hampir punah, dapat digunakan untuk tanaman yang tidak menghasilkan biji, bebas dari segala gangguan hama dan penyakit, serta dapat disimpan dalam keadaan bebas penyakit. Namun, pemilihan bahan tanaman untuk kultur (eksplan) yang tepat adalah salah satu faktor penentu keberhasilkan metode teknik jaringan tersebut.
Eksplan merupakan bagian dari tanaman (jaringan, organ, sejumlah sel atau bagian dari masa kalus) yang digunakan dalam kultur in-vitro. Eksplan yang baik harus memenuhi syarat bebas dari organisme lain, memiliki potensi regenerasi dan pertumbuhan yang tinggi (Gunawan, 2004). Bagian tanaman yang biasa digunakan sebagai sumber eksplan antara lain adalah tunas pucuk, tunas ketiak, akar mata tunas, daun, embrio, dan bakal biji (Gamborg dan Shyluk, 1981 dalam Darwati, 2007). Tingkat keberhasilan dari berbagai sumber eksplan tidak sama untuk tiap jenis tanaman. Suaria (2000) dalam Darwati (2007) menyebutkan bahwa sumber eksplan dapat berasal dari lapang atau diambil dari kultur in-vitro yang sudah ada. Eksplan yang berasal dari lapang memerlukan sterilisasi, sedangkan eksplan yang berasal dari kultur in-vitro tidak memerlukan sterilisasi karena sudah steril.
Beberapa penelitian telah berhasil dilakukan melalui kultur in-vitro dengan menggunakan eksplan berupa daun, yaitu pada tembakau (Nicotiana tabacum L.) (Dhaliwal et al. 2004; Ali et al. 2007; Nisak et al. 2012), sambiloto (Andrographis paniculata, Nees.) (Fitrianti, 2006), dan purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.) (Darwati, 2007). Penelitian dengan menggunakan eksplan berupa embrio juga telah banyak dilakukan dan menunjukkan adanya keberhasilan, yaitu pada padi (Oryza sativa L. (Purnamaningsih, 2006; Shanthi et al. 2010; Ghobeishavi et al., 2015), mimba (Azadirachta indica A. Juss.) (Chaturvedi et al. 2004), pepaya (Carica papaya L.) (Damayanti et al. 2007), anggrek bulan (Phalaenopsis amabilis (L.) Bl) (Utami, 2007), dan Carica sp. (Azad et al., 2012).
Adanya pelukaan pada eksplan dapat memunculkan suatu massa sel yang disebut kalus. Kalus merupakan massa sel yang tidak berdiferensiasi atau belum terorganisir terbentuk di sekitar luka atau akibat kerja hormon auksin dan sitokinin. Kalus tersusun atas sel-sel parenkim (George dan Sherington, 1984; Pierik, 1987). Berdasarkan Gunawan (1988) disebutkan bahwa hormon-hormon tanaman yang biasanya digunakan dalam kultur jaringan yaitu auksin (Indole Acetic Acid (IAA), Naphtalene Acetic Acid (NAA), Indole Butiric Acid (IBA), dan 2-4-di-Chlorophenoxy Acetic Acid (2,4-D)); Sitokinin (Kinetin, Zeatin, Benzyl Amino Purine/Benzyl Adenin (BAP/BA) dan 2-Isophenthyl Adenin (2Ip); dan Giberelin. Menurut Suryowinoto (1996), banyak yang memakai zat-zat hormon untuk menginduksi pembentukan kalus. Hormon yang biasanya digunakan yakni dari kelompok auksin. Pemakaiannya tersebut dari jumlah yang sedikit hingga banyak, serta didampingi hormon kelompok auksin. Guna memacu pembentukan kalus banyak digunakan 2,4-D atau NAA. NAA digunakan apabila dimaksudkan ingin menghindari terjadi mutasi pada hasil kultur. Penggunaan 2,4-D untuk menginduksi munculnya kalus dari eksplan telah juga banyak dilakukan pada berbagai spesies tanaman, misalnya: pada tanaman anggrek Dendrobium Jakarta molek (Indarjo, 2003), stevia (Stevia rebaudiana) (Babu et al. 2011), anggur hijau (Vitis vinifera L.) (Dwi et al. 2012), padi (Oryza sativa L.) (Shanthi et al. 2010; Ghobeishavi et al., 2015).
Pemahaman terkait teknik kultur jaringan dengan menggunakan berbagai sumber eksplan dan penggunaan hormon sangat diperlukan bagi setiap orang yang bekerja di bidang biologi kultur in-vitro guna mengoptimalkan tingkat keberhasilan dikarenakan setiap sel tanaman mempunyai tingkah laku yang berbeda-beda. Berdasarkan uraian tersebut praktikum ini sangat perlu dilakukan untuk membekali berupa keterampilan dan pengetahuan pada mahasiswa sebelum melakukan penelitian yang berhubungan dengan kegiatan kultur in-vitro tanaman.

Tujuan Praktikum

Tujuan dilaksanakan praktikum ini meliputi:
1.             Mengetahui cara perlakuan sterilisasi pada sumber eksplan yang berbeda.
2.       Mengetahui pengaruh perbedaan konsentrasi 2,4-D terhadap kecepatan munculnya kalus.



HASIL DAN PEMBAHASAN

Sterilisasi Sumber Eksplan
Sumber eksplan yang digunakan pada praktikum ini terdiri dari tiga macam yaitu helai daun tembakau, tangkai daun (petiol) daun tembakau, dan embrio padi. Sterilisasi permukaan hanya dilakukan pada sumber eksplan embrio padi karena diperoleh dari luar kondisi steril. Sterilisasi tidak dilakukan pada sumber eksplan tembakau karena diperoleh dari hasil kultur in-vitro sebelumnya. Diasumsikan bahwa sumber eksplan tembakau sudah dalam keadaan steril sehingga tidak dilakukan sterilisasi permukaan seperti halnya embrio padi. Sterilisasi embrio padi dilakukan dengan merendam dalam larutan bayclin 20 % yang ditambahkan 2 tetes tween selama 20 menit. Bahan aktif yang terkandung di dalam larutan bayclin yakni berupa NaOCl akan menjadi agen sterilan bagi eksplan. Tujuan utama dilakukan sterilisasi yaitu untuk membunuh mikroorganisme yang dapat menjadi kontaminan bagi eksplan. Menurut Sandra dan Karyaningsih (2000), sterilisasi adalah proses untuk mematikan atau menonaktifkan spora dan mikroorganisme sampai ke tingkat yang tidak memungkinkan lagi berkembang biakatau menjadi sumber kontaminan
selama proses perkembangan berlangsung.
Sterilisasi eksplan pada praktikum ini termasuk ke dalam sterilisasi secara kimia karena agen sterilan yang digunakan berupa bahan kimia yakni larutan bayclin 20 %. Menurut Hendaryono dan Wijayani (1994) sterilisasi eksplan dapat  dilaksanakan dengan dua cara, yaitu secara mekanik dan secara kimia. Sterilisasi  eksplan secara mekanik digunakan untuk eksplan yang keras (misalnya tebu, biji  salak, dan sebagainya) atau berdaging (misalnya wortel, umbi, dan sebagainya). Sterilisasi secara mekanik dilakukan dengan membakar eksplan tersebut di atas lampu spiritus sebanyak tiga kali. Sterilisasi eksplan secara kimia digunakan untuk eksplan yang lunak (jaringan muda) seperti daun, tangkai daun, anther, dan sebagainya.
Bahan-bahan kimia yang sering digunakan untuk sterilisasi permukaan eksplan antara lain:
1.    Sodium hipoklorit
Nama dagangnya adalah clorox dan bayclin. Konsentrasi yang digunakan untuk sterilisasi tergantung dari tingkat kelunakan eksplan. Konsentrasi yang digunakan berkisar 5-20 % dan waktunya antara 5-10 menit.
2.    Mercuri klorit
Nama dagangnya adalah sublimat 0.05 %. Penggunaan bahan kimia ini harus hati-hati karena bersifat racun. Cara perlakuan sterilisasinya sama dengan clorox, hanya waktunya lebih pendek karena sublimat bersifat keras.
3.    Alkohol 70 %
Alkohol lebih banyak diperdagangkan dalam bentuk alkohol 95 %. Jamur biasanya mati dengan alkohol 70 %, sedangkan dengan alkohol 95 % masih tetap hidup.

Prinsip dasar sterilisasi eksplan adalah mensterilkan eksplan dari berbagai mikroorganisme, tetapi eksplannya tidak ikut mati. Setiap tanaman memerlukan perlakuan khusus sehingga sebelum mengulturkan tanaman baru perlu melakukan percobaan sterilisasi. Terdapat sekitar sepuluh jenis bahan yang digunakan dalam sterilisasi permukaan, yaitu kalsium hipoklorit, natrium hipoklorit, hidrogen peroksida, gas klorin, perak nitrat, merkuri klorit, betadin, fungisida, antibiotik, dan alkohol (Gunawan 1987; Sandra 2003).


Pengaruh Perbedaan Konsentrasi 2,4-D Terhadap Kecepatan Induksi Kalus
Kalus merupakan sekumpulan sel yang belum terdiferensiasi yang berkembang dari eksplan. Kecepatan munculnya kalus dari suatu ekspan dipengaruhi oleh komposisi media. Pada praktikum ini digunakan hormon 2,4-D sebagai senyawa yang akan menginduksi munculnya kalus dari eksplan. Konsentrasi 2,4-D yang ditambahkan pada media kultur MS yakni 1 dan 3 ppm. Hasil pengamatan pada praktikum menunjukkan bahwa media MS dengan penambahan 2,4-D 1 ppm lebih sesuai untuk menginduksi munculnya kalus dibandingkan dengan media MS dengan penambahan 2,4-D 3 ppm. Pertumbuhan kalus sudah mulai terlihat pada eksplan helai daun tembakau dan embrio padi pada umur 1 minggu. Pertumbuhan kalus pada minggu ke-1 belum terlihat pada eksplan petiol daun tembakau. Petiol daun tembakau pada minggu ke-1 masih memperlihatkan tingkah laku berupa pelengkungan eksplan. Pada minggu ke-2 dapat mulai terlihat kalus mulai berkembang sehingga menunjukkan adanya peningkatan ukuran. Namun pada minggu ke-2 dan hingga minggu ke-4 dapat diamati bahwa pada perlakuan 2,4-D 3 ppm menunjukkan adanya gejala penghitaman pada eksplan terutama pada embrio padi. Pada perlakuan 2,4-D 3 ppm menunjukkan adanya penghambatan kecepatan tumbuh pada semua eksplan. Pertumbuhan kalus terlihat lebih baik pada perlakuan 2,4-D 1 ppm yang dapat diamati hingga minggu ke-4. Selain menunjukkan adanya pertumbuhan kalus, pada eksplan embrio padi juga menunjukkan pertumbuhan tunas dan akar. Pada minggu ke-3 sudah dapat diamati pertumbuhan kalus pada eksplan petiol daun tembakau baik pada perlakuan 1 ppm. Berdasarkan sumber eksplan yang digunakan dapat diketahui jika eksplan yang berasal dari helai daun cenderung lebih cepat memperlihatkan pertumbuhan kalus dibandingkan petiol daun tembakau (Gambar 1).

Gambar 1. Pertumbuhan eksplan pada media MS: (a-e) embrio padi IR64; (f-j) helai daun tembakau; (k-o) petiol daun tembakau (Keterangan: tanda panah warna merah: organisasi kalus; tanda panah warna hitam: tunas embrio padi; tanda panah warna biru: akar embrio padi; tanda panah warna oranye: organisasi kalus yang menghitam)

Berdasarkan perubahan ukuran sel, metabolisme dan penampakan kalus, proses perubahan dari eksplan menjadi kalus dapat dibagi menjadi tiga tahap yaitu induksi, pembelahan dan diferensiasi. Pada tahap induksi, sel siap membelah, metabolisme menjadi aktif dan ukuran sel tetap konstan. Tahap pembelahan, sel aktif membelah atau bersifat meristematik dan terjadi penurunan ukuran sel. Akhir pertumbuhan kalus ditandai dengan peningkatan diferensiasi yang dicirikan dengan pembesaran sel, sel menjadi bervakuola dan penurunan laju pembelahan (Aitchison et al. 1977).
Pertumbuhan kalus dapat digambarkan dalam bentuk kurva sigmoid, biasanya terdiri dari lima fase yaitu (1) lag phase, sel siap untuk membelah, (2) periode pertumbuhan eksponensial, pembelahan sel maksimal, (3) periode pertumbuhan linier, pembelahan sel menurun dan terjadi pembesaran ukuran sel. (4). Periode penurunan kecepatan tumbuh. (5) stasioner atau periode tidak ada pertumbuhan, jumlah sel konstan (Smith 2000). Berdasarkan tekstur dan sifat fisik kalus dapat diamati bahwa kalus-kalus yang terbentuk dari semua sumber eksplan termasuk tipe remah (friable) dengan warna kalus putih kekuningan (Gambar 2).

Gambar 2. Tekstur kalus dari beberapa eksplan: (a). petiol daun tembakau; (b). embrio padi IR64; (c). helai daun tembakau

Induksi kalus pada praktikum ini menggunakan hormon 2,4-D 1 ppm dan 3 ppm yang termasuk kedalam kelompok hormon Auksin. Auksin merupakan salah satu golongan fitohormon baik alamiah maupun sintetik yang menginduksi pemanjangan sel dan juga dalam kasus pembelahan sel. Golongan persenyawaan ini juga memengaruhi dominasi apikal, penghambatan pucuk aksilar dan adventif, serta inisiasi pengakaran (Wattimena et al. 1992). Selain itu, secara fisiologis auksin berperan dalam aktivitas kambium dan absisi (Wattimena 1986). Watherell (1982) menyatakan bahwa auksin memiliki dua peran yaitu: (1) merangsang pembelahan dan pembesaran sel yang terdapat pada pucuk tanaman dan menyebabkan pertumbuhan pucuk-pucuk baru. Secara alami beberapa eksplan meproduksi auksin dalam jumlah yang cukup, tetapi kebanyakan membutuhkan tambahan, paling tidak auksin yang tidak stabil, seperti misalnya IAA dalam jumlah yang kecil. Penambahan auksin yang lebih stabil, misalnya NAA atau 2,4-D cenderung meyebabkan terjadinya pertumbuhan kalus dari eksplan dan menghambat regenerasi pucuk tanaman dan (2). Merangsang pembentukan akar tetapi kadar auksin yang optimal untuk merengsang pembentukan primordia akar biasanya terlalu tinggi untuk merangsang perpanjangan akar.
Kegiatan induksi kalus pada praktikum ini tidak menunjukkan keberhasilan 100 % karena terjadi kontaminasi pada kultur. Kontaminasi yang terjadi dapat diamati dengan munculnya mikroorganisme pada media atau eksplan. Kontaminan berupa bakteri dan cendawan. Kontaminasi ini terlihat sejak eksplan berumur 1 minggu. Hingga minggu ke-3 juga masih dijumpai adanya kultur yang mengalami kontaminasi. Kontaminasi yang disebabkan oleh cendawan ataupun bakteri memiliki karakter yang berbeda. Kontaminasi eksplan oleh cendawan ditunjukkan adanya pertumbuhan hifa pada media/eksplan, sedangkan kontaminasi oleh bakteri terlihat adanya struktur berlendir pada media/eksplan (Gambar 3). Menurut Wetherell (1982) masalah yang sering mengganggu dalam pekerjaan in-vitro adalah membuat dan menjaga kondisi aseptik, baik kondisi lingkungan maupun kondisi eksplannya. Oleh karena itu apabila memindah-tanamkan bagian tanaman dari satu wadah ke wadah yang lain, diusahakan jangan menyentuh permukaan bagian dalam dari wadah dengan tangan atau bagian alat yang tidak steril .

Gambar 3. Kontaminasi eksplan oleh (a). cendawan dan (b). bakteri

Terjadinya kontaminasi pada eksplan menurut Marbun (2006) disebabkan karena metode sterilisasi yang masih kurang sesuai dan bahan tanaman yang digunakan sudah terkontaminasi secara internal. Yusnita (2003) menyebutkan bahwa kontaminasi internal berasal dari mikroorganisme endofitik (mikroorganisme yang hidup di dalam sel atau ruang antarsel tumbuhan). Mikroorganisme ini merupakan biota dari tanaman sumber eksplan yang sulit diatasi dengan sterilisasi permukaan. Hasil penelitian Marbun (2006) ditemukan banyak kontaminan berupa cendawan dan bakteri pada eksplan dari tunas aksilar dan tunas apikal mahkota tanaman nenas (Ananas comosus (L.) Merr.). Bakteri sering tidak muncul pada saat eksplan baru dikulturkan, tetapi muncul beberapa minggu kemudian. Bakteri tersebut tetap ada walaupun dilakukan sterilisasi permukaan berkali-kali, karena hidupnya secara endofit di dalam jaringan tumbuhan.

SIMPULAN

Perlakuan sterilisasi eksplan berbeda tergantung sumbernya. Eksplan yang berasal dari tanaman hasil kultur in-vitro (tembakau) maka tidak dilakukan sterilisasi permukaan, sedangkan eksplan yang berasal dari luar kondisi in-vitro (padi IR64) agar dapat dikulturkan harus dilakukan sterilisasi permukaan terlebih dahulu. Konsentrasi 2,4-D 1 ppm lebih sesuai digunakan untuk induksi kalus dibandingkan 2,4-D 3 ppm. Eksplan berupa daun lebih cepat menunjukkan adanya pertumbuhan kalus dibandingkan dengan eksplan yang berupa petiol.


Analisis Ekspresi Gen Penyandi Transporter Besi (OsIRT1) Padi (Oryza sativa L.) terhadap Cekaman Besi

Hi, postingan yang satu ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari postingan sebelumnya yang berjudul "Respon Morfologi Tanaman Padi (Oryza sativa L.) terhadap Cekaman Besi". Namun, pada postingan ini difokuskan pada kajian molekulernya saja. yep, langsung saja ya saya bersenandung.
Ringkasnya adalah sebagai berikut, sebelum sampai kepada tahap analisis ekspresi gen, tentunya saya harus melakukan isolasi RNA, kemudian sintesis cDNA, baru setelah itu ujung dari cerita ini akan terlihat melalui amplifikasi primer spesifik untuk mengetahui tingkat ekspresi suatu gen. Disini analisis ekspresi gen saya lakukan secara semikuantitatif yakni hanya mengamati profil pita hasil amplifikasi primer spesifik melalui PCR. Sebenarnya, analisis ekspresi suatu gen juga dapat dilakukan secara kuantitatif yakni melalui qRT-PCR. Oke langsung saja saya sampaikan hasil small project saya ini.

Tahapan isolasi RNA total terdiri atas 3 tahap utama, yaitu pemecahan dinding sel, ekstraksi dan permurnian RNA. Pemecahan dinding sel berfungsi  untuk membebaskan komponen sitoplasma dan RNA dalam sel. Tahap kedua, yaitu ekstraksi yang meliputi penggunaan senyawa pengekstrak dan pengendapan  RNA. Pada praktikum ini ekstraksi RNA menggunakan AccuZolTM total RNA Extraction Kit dengan mengikuti instruksi pabrik (USA Bioneer, Inc.). Reagen AccuZol  merupakan larutan yang sudah dilengkapi dengan fenol dan garam guanidin yang mampu menghambat aktivitas RNase dan mampu menjaga integritas RNA selama  proses lisis dan homogenasi sampel (USA Bioneer, Inc.). Penggunaan kloroform yang dilanjutkan dengan sentrifugasi pada tahapan isolasi RNA berfungsi untuk memisahkan aqueous phase (fase atas) dan fase organik (fase bawah). RNA berada pada fase atas. Penggunaan isopropanol berfungsi untuk presipitasi RNA, sedangkan etanol berfungsi untuk mencuci RNA dari kontaminan (USA Bioneer, Inc.). Isolasi RNA total yang dilakukan pada praktikum ini berasal dari dua macam jaringan yaitu daun dan akar padi dari perlakuan cekaman besi 400 ppm selama 4 hari. Pengambilan sampel untuk isolasi RNA dilakukan dengan hati-hati. Sampel yang berhasil diambil selanjutnya disimpan dalam ice-box berisi es untuk menjaga agar sel tidak rusak.
Analisis kualitatif RNA total diamati menggunakan elektroforesis gel agarosa 1 % di dalam buffer MOPS 1 % (v/v) yang kemudian divisualisasikan dengan menggunakan UV Transiluminator. Hasil elektroforegram menunjukkan bahwa RNA total berhasil diisolasi pada akar dan padi. Namun isolasi tidak berhasil dilakukan pada semua sampel (Gambar 1). RNA berhasil diisolasi kecuali pada sampel A1P dan D2P. Beberapa hal yang dapat mungkin menyebabkan tidak berhasilnya RNA diisolasi yaitu karena proses homogenasi dan lisis sampel yang tidak sempurna.
Gambar 1. Hasil elektroforegram RNA total akar dan daun padi

Hasil elektroforegram terhadap RNA total akar dan daun padi menunjukkan adanya perbedaan intensitas pita. Perbedaan intensitas pita ini dapat mengindikasikan konsentrasi RNA yang beragam pada masing-masing sampel,  hal  ini perlu diperhatikan karena akan mempengaruhi hasil analisis ekspresi gen. Penggunaan konsentrasi RNA pada uji ekspresi dengan metode RT-PCR memerlukan konsentrasi  RNA  yang  sama karena akan mempengaruhi intensitas pita yang terbentuk. Hasil elektroforegram RNA total menunjukkan adanya 2 pita  RNA yang dominan pada RNA total yang diisolasi dari akar maupun daun padi baik perlakuan kontrol maupun dengan cekaman besi 400 ppm. Kedua pita dominan tersebut merupakan pita yang menunjukkan RNA ribosomal (rRNA) 28S dan 18S (Gambar 1). Hal ini menunjukkan bahwa RNA total yang diisolasi mempunyai keutuhan yang tinggi sehingga sangat baik digunakan sebagai cetakan untuk sintesis cDNA total. Selain itu juga menunjukkan bahwa RNA yang diisolasi tidak mengalami degradasi.
Jumlah sampel yang digunakan pada uji kuantitatif ini hanya 6 sampel. Hal ini dikarenakan berdasarkan hasil elektroforesis (Gambar 1) menunjukkan terdapat 2 sampel yang tidak menghasilkan pita. Tidak munculnya pita tersebut diasumsikan bahwa RNA tidak berhasil diisolasi sehingga tidak dilakukan uji kuantitatif. Uji kuantitatif dilakukan dengan Thermo Scientific Nanodrop 2000 Spectrofotometer pada panjang gelombang 260 nm dan 280 nm. Uji kuantitatif ini dilakukan untuk mengetahui konsentrasi dan tingkat kemurnian RNA total yang berhasil diisolasi. Konsentrasi RNA hasil isolasi berdasarkan pengukuran pada panjang gelombang 260 nm, nilai 1 unit absorban sebanding dengan 1 μg/ml RNA (Wilson dan Walker 2000). Berdasarkan Sambrook et al. (1989) konsentrasi RNA didapat dari perkalian nilai absorban dengan faktor pengenceran dan 40 μg/ml. Konsentrasi RNA total pada semua sampel berkisar antara  886.90-3297.85  ng/μl. Hasil pengukuran tingkat kemurnian RNA menggunakan Thermo Scientific Nanodrop 2000 Spectrofotometer menunjukkan bahwa rasio serapan pada panjang gelombang A260/A280 berkisar antara 1.54-1.97.
Perbandingan serapan pada panjang gelombang A260/A280 menunjukkan  kemurnian RNA terhadap adanya kontaminan protein. Perbandingan 1.80-2.00 menunjukkan tingkat kemurnian yang cukup baik dan sedikitnya kontaminan protein dalam larutan ekstrak RNA. Hasil praktikum menunjukkan bahwa hanya sampel D2K yang bebas dari kontaminasi protein. Sampel yang lain menunjukkan tingkat kontaminasi protein yang bervariasi. Kontaminasi protein paling tinggi terdapat pada sampel A1K dengan rasio A260/A280 sebesar 1.54.
Praktikum ini menggunakan kit  iScript cDNA synthesis (BIO-RAD). Reaksi dimulai dengan penambahan primer oligo(dT), primer ini akan berpasangan dengan adenin pada mRNA (ekor poli A). Komponen nukleotida (dNTP) dengan bantuan  enzim reverse transcriptase akan berpasangan dengan basa komplemennya pada mRNA sehingga terbentuk utas pertama cDNA. Proses selanjutnya yaitu mRNA dipisahkan dari hibrid (mRNA-cDNA) dengan cara mendegradasi mRNA menggunakan enzim RNaseH.
Sebelum cDNA digunakan dalam PCR maka terlebih dahulu dilakukan pengukuran konsentrasinya. Pada praktikum ini hanya digunakan 2 macam sampel yang digunakan untuk sintesis cDNA total karena laboratorium hanya menyediakan untuk 2 sampel saja atas pertimbangan harga enzim yang mahal. Dua sampel yang digunakan pada tahapan ini dipilih hasil isolasi RNA dari padi dengan sifat toleran terhadap besi yaitu perlakuan kontrol dan cekaman besi 400 ppm. Penggunaan konsentrasi cDNA pada analisis ekspresi dengan metode RT-PCR memerlukan konsentrasi cDNA yang sama karena akan mempengaruhi intensitas pita yang terbentuk. Sebanyak 500 ng/μl cDNA diamplifikasi menggunakan PCR. Teknik ini digunakan untuk mendeteksi  gen OsIRT1 pada akar padi menggunakan  primer  spesifik yang telah didesain sebelumnya. Primer Actin digunakan sebagai kontrol.
Hasil praktikum menunjukkan bahwa konsentrasi cDNA hasil sintesis yaitu berkisar antara 1597.3-1615 ng/μl dengan tingkat kemurnian yang cukup baik yakni 1.74-1.78. Berdasarkan hasil sintesis cDNA tersebut sehingga konsentrasi cetakan yang akan digunakan untuk analisis ekspresi melalui PCR dengan primer spesifik berikutnya dapat ditentukan.
Analisis ekpresi pada penelitian ini dilakukan menggunakan teknik RT-PCR. Sampel yang diuji merupakan sampel akar padi varietas Pokkali yang mendapat perlakuan cekaman besi 400 ppm dibandingkan dengan kontrol. Molekul cDNA hasil sintesis selanjutnya dielektroforesis pada gel agarosa 1 %. Tingkat ekspresi gen diamati melalui perbedaan intensitas pita yang dihasilkan oleh masing-masing sampel. Intensitas pita yang muncul berbanding lurus dengan tingkat ekspresi gen. Hasil praktikum menunjukkan bahwa adanya perlakuan cekaman besi 400 ppm selama 4 hari menyebabkan peningkatan ekspresi gen OsIRT1 pada akar padi varietas Pokkali (Gambar 2). Peningkatan ekspresi gen OsIRT1 tersebut dapat diamati dari intensitas pita hasil elektroforegram yang lebih tebal dibandingkan dengan kontrol. Ukuran pita untuk gen OsIRT1 pada praktikum ini yaitu 168 bp, sedangkan ukuran pita untuk gen Actin yaitu 136 bp.

Gambar 2. Elektroforegram hasil RT-PCR dengan menggunakan primer spesifik untuk gen Actin (kontrol) dan gen OsIRT1



Respon Morfologi Tanaman Padi (Oryza sativa L.) terhadap Cekaman Besi

Hi, kembali lagi bertemu dengan saya. Rasanya sudah lama sekali ya jemari ini tidak bercerita pada lembar ini. Namun, di pertemuan kali ini saya akan berbagi tentang hasil small project saya yang juga sudah saya presentasikan. Oke, baiklah tanpa basa-basi langsung saja.....


Seperti yang telah kalian semua ketahui bahwa besi merupakan salah satu unsur hara mikro penting yang diperlukan bagi tanaman, namun apabila konsentrasi besi melebihi tingkat toleransi tanaman justru akan menyebabkan racun bagi pertumbuhannya. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa padi yang dicekam besi dengan konsentrasi 400 ppm selama 4 hari mengalami keracunan yang ditunjukkan melalui respon morfologinya (Gambar 1). Padi yang mengalami keracunan besi ditunjukkan dengan pertumbuhan yang terhambat. Hal tersebut dapat diamati bahwa padi yang berada pada media bercekaman besi 400 ppm menunjukkan respon yang sangat berbeda dibandingkan padi yang berada pada media tanpa cekaman (kontrol)

Gambar 1. Perbedaan respon morfologi padi pada kondisi cekaman besi selama 4 hari: (a). 0 Hari Setelah Cekaman dan (b). 4 Hari Setelah Cekaman. Keterangan: CH = Ciherang; IG = Indragiri; PK = Pokkali; MH = Mahsuri

Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara leaf bronzing yang dihasilkan oleh tanaman sensitif dan toleran besi. Tanaman sensitif menunjukkan bronzing yang lebih tinggi intensitasnya dibandingkan tanaman toleran (Gambar 2a). Leaf bronzing untuk tanaman sensitif dapat diamati pada varietas Ciherang, sedangkan untuk tanaman toleran dapat diamati pada varietas Indragiri, Pokkali, dan Mahsuri.

Gambar 2. Leaf bronzing pada helai daun padi akibat adanya cekaman besi 400 ppm selama 4 hari (a) dan Leaf Bronzing Score berdasarkan (Wu et al. 2014)

Mengacu pada skala bronzing Wu et al. (2014) diketahui juga bahwa skor bronzing tanaman sensitif (Ciherang) mencapai skor maksimal yaitu 10, sedangkan skor bronzing tanaman toleran berkisar antara 2-3 (Gambar 2b). Skor bronzing 2 dimiliki oleh varietas Pokkali dan Mahsuri. Skor bronzing 3 dimiliki oleh varietas Indragiri. Berdasarkan skor tersebut mengindikasikan juga bahwa varietas indragiri walaupun dikategorikan termasuk tanaman yang toleran toleran, varietas tersebut sedikit lebih sensitif dibandingkan varietas Pokkali dan Mahsuri.
Adanya cekaman besi 400 ppm selama 4 hari juga memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan akar. Akar tanaman yang tercekam padi mengalami penghambatan pertumbuhan dibandingkan dengan kontrol (Gambar 3). Selain mengalami penghambatan pertumbuhan, akar pada tanaman yang berada pada media cekaman juga berwarna kuning hingga jingga (orange). Warna tersebut timbul akibat terbentuknya plak besi (iron plaque) akibat adanya cekaman besi.
Gambar 3. Morfologi akar padi akibat adanya cekaman besi 400 ppm selama 4 hari

Varietas yang mengalami penghambatan pertumbuhan secara fisiologi maupun morfologi pada percobaan kultur hara praktikum ini sesuai dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Kpongor et al (2003) menyatakan bahwa konsentrasi hingga 2000 ppm dapat digunakan untuk menunjukkan gejala keracunan pada tahap awal pertumbuhan tanaman padi dengan mengamati bercak pada daun.
Menurut Amnal (2009), respon tanaman terhadap keracunan besi dapat dipelajari melalui metode kultur hara. Penggunaan metode kultur hara berguna untuk mempelajari respon tanaman padi terhadap cekaman besi pada tahap awal pertumbuhan vegetatif memiliki keuntungan, selain dapat digunakan untuk melihat gejala keracunan pada daun, juga dapat digunakan untuk menganalisis plak besi pada akar dan menjadi salah satu metode untuk mempelajari mekanisme penghindaran tanaman padi terhadap cekaman besi.
Konsentrasi besi yang digunakan pada praktikum ini untuk mensimulasikan kondisi keracunan besi yaitu 400 ppm. Konsentrasi tersebut digunakan karena berdasarkan penelitian Nugraha et al. (2015) diketahui bahwa cekaman besi pada media Yoshida yang ditambahkan agar dengan 400 ppm FeSO4.7H2O merupakan metode terbaik untuk melakukan penapisan genotipe padi terhadap keracunan besi.