Undang-undang
No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosisstemnya
merupakan suatu kekuatan dalam pelaksanaan konservasi kawasan hutan mangrove.
Di dalam undang-undang tersebut terdapat tiga aspek yang sangat penting, yakni
sebagai berikut.
1. Perlindungan
terhadap sistem penyangga kehidupan dengan menjamin terpeliharanya proses
ekologi bagi kelangsungan hidupbiota dan keberadaan ekosistemnya.
2. Pengawetan
sumber plasma nutfah, yaitu menjamin terpeliharanya sumber genetik dan
ekosistemnya, yang sesuai bagi kepentingan kehidupan umat manusia.
3.
Pemanfaatna
secara lestari atau berkelanjutan, baik berupa produksi dan jasa.
Pada
mulanya, hutan mangrove hanya dikenal secara terbatas oleh kalangan ahli
lingkungan, terutama lingkungan laut. Mula-mula, kawasan hutan mangrove dikenal
dengan istilah Vloedbosh, kemudian dikenal dengam istilah “payau” karena
sifat habitatnya yang payau. Berdasarkan dominasi jenis pohonnya, yaitu bakau,
maka kawasan mangrove juga disebut sebagai hutan bakau. Kata mangrove merupakan kombinasi antara kata mangue (bahasa
Portugis) yang berarti tumbuhan dan grove (bahasa Inggris) yang berarti
belukar atau hutan kecil (Arief, 2003).
Menurut
Mac nae (1968), kata mangrove digunakan untuk menyebut jenis pohon-pohon atau
semak-semak yang tumbuh di antara batas air tertinggi saat air pasang dan batas
air terendah sampai di atas rata-rata permukaan laut. Sebenarnya, kata mangrove
digunakan untuk menyebut masyarakat tumbuh-tumbuhan dari beberapa spesies yang
mempunyai perakaran Pneumatophores dan tumbuh di antara garis pasang
surut. Sehingga hutan mangrove juga disebut “hutan pasang” (Steenis, 1978).
Fungsi dan Manfaat Hutan Mangrove
Menurut
Arief (2003), secara garis besar, penjelasan bahwa mangrove mempunyai beberapa
keterkaitan dalam pemenuhan kebutuhan manusia sebagai penyedia bahan pangan,
papam, dan kesehatan serta lingkungan dibedakan menjadi lima, yaitu fungsi
fisik, fungsi kimia, fungsi biologi, fungsi ekonomi, dan fungsi lain
(wanawisata).
Fungsi
fisik kawasan mangrove adalah sebagai berikut: menjaga garis pantai agar tetap
stabil, melindungi pantai dan tebing sungai dari proses erosi atau abrasi,
serta menahan atau menyerap tiupan angin kencang dari laut ke darat, menahan
sedimen secara periodik sampai terbentuk lahan baru, sebagai kawasan penyangga
proses intrusi atau rembesan air laut ke darat, atau sebagai filter air asin
menjadi tawar (Arief, 2003).
Fungsi Kimia
Fungsi
kimia kawasan hutan mangrove adalah sebagai berikut: sebagai tempat terjadinya
proses daur ulang yang menghasilkan oksigen, sebagai penyerap karbondioksida
(penyerap emisi karbon) (Aziz, 2010), dan sebagai pengolah bahan-bahan limbah
hasil pencemaran industri dan kapal-kapal di lautan (Arief, 2003).
Fungsi Biologi
Fungsi
biologi kawasan mangrove adalah sebagai berikut: sebagai penghasil bahan
pelapukan yang merupakan sumber makanan penting bagi invertebrata kecil pemakan
bahan pelapukan (detritus), yang kemudian berperan sebagai sumber makanan bagi
hewan yang lebih besar, sebagai kawasan pemijah atau asuhan (nursery ground)
bagi udang, ikan, kepiting, kerang, dan sebagainya, yang setelah dewasa akan
kembali ke lepas pantai, sebagai kawasan untuk berlindung, bersarang, serta
berkembang biak bagi burung dan satwa lain, sebagai sumber plasma nutfah dan
sumber genetika, dan sebagai habitat alami berbagai jenis biota darat dan laut
lainnya (Arief, 2003).
Fungsi
Ekonomi
Mangrove
sejak lama telah dimanfaatkan oleh masyarakat yang tinggal di sekitarnya.
Tercatat sekitar 67 macam produk yang dapat dihasilkan oleh ekosistem hutan
mangrove dan sebagian besar telah dimanfaatkan oleh masyarakat, misalnya untuk
bahan bakar (kayu bakar, arang, alkohol); bahan bangunan (tiang-tiang, papan,
pagar); alat-alat penangkapan ikan (tiang sero, bubu, pelampung, tanin untuk
penyamak); tekstil dan kulit (rayon, bahan untuk pakaian, tanin untuk menyamak
kulit); makanan, minuman dan obat-obatan (gula, alkohol, minyak sayur, cuka);
peralatan rumah tangga (mebel, lem, minyak untuk menata rambut); pertanian
(pupuk hijau); chips untuk pabrik kertas dan lain-lain (Arief, 2003).
Jenis-jenis Vegetasi Hutan Mangrove
Pada
umumnya, vegetasi yang tumbuh di kawasan mangrove mempunyai variasi yang
seragam, yakni hanya terdiri atas satu strata yang berupa pohon-pohon yang
berbatang lurus dengan tinggi pohon mencapai 20 m – 30 m. Jika tumbuh di pantai
berpasir atau terumbu karang, tanaman akan tumbuh kerdil, rendah, dan batang
tanaman seringkali bengkok. Hutan mangrove terdiri atas berbagai jenis
vegetasi. Beberapa jenis yang dikenal antara lain tanjang wedok (Rhizophora
apiculata Bl.) atau bakau putih atau bakau gede, tanjang lanang (R.
mucronata Lmk.) atau bakau hitam atau bakau leutik, dan bakau (R. stylosa
Griff.). beberapa jenis vegetasi yang terdapat di hutan mangrove ditunjukkan
dalam Gambar 1. (Arief, 2003).
Sebenarnya,
istilah tanjang adalah sebutan khusus untuk Bruguiera yang digolongkan ke dalam
famili yang sama dengan Rhizophoraceae. Namun, telah terjadi salah pengertian
dalam masyarakat, terutama masyarakat pesisir yakni tercampur dengan istilah
daerah, sehingga pengertiannya menjadi rancu untuk seterusnya (Arief, 2003).
Gambar
1. Buah R. Mucronata (a), R. Apiculata (b), B.
Gymnorrhiza (c), Avicennia spp. (d), dan S. Alba (e) (Arief,
2003)
Hutan Mangrove di Indonesia
Berdasarkan
data terbaru Badan Informasi Geospasial, luas hutan mangrove di Indonesia hanya
3,2 juta hektar (ha). Namun, jumlah itu merupakan 22 persen dari seluruh
ekosistem sejenis di dunia. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa posisi hutan
mangrove Indonesia cukup strategis sebagai penyangga ekosistem mangrove dunia
(Theo, 2012). Hutan mangrove Indonesia merupakan hutan mangrove terluas di
dunia. Luas ekosistem mangrove di Indonesia mencapai 75 persen dari total
mangrove di Asia Tenggara, atau sekitar 27 persen dari luas mangrove di dunia.
Kekhasan ekosistem mangrove Indonesia adalah memiliki keragaman jenis yang
tertinggi di dunia. Sebaran mangrove di Indonesia terutama di wilayah
pesisir Sumatera, Kalimantan dan Papua. Namun demikian, kondisi mangrove
Indonesia baik secara kualitatif dan kuantitatif terus menurun dari tahun ke
tahun (Indomaritimeinstitute, 2013).
Saat
ini, tercatat Indonesia mempunyai hutan mangrove seluas 9,36 juta hektar yang tersebar
di seluruh Indonesia. Sekitar 48 persen atau seluas 4,51 juta hektar rusak
sedang dan 23 persen atau 2,15 juta hektare lainnya rusak berat.
Kerusakan hutan mangrove di Indonesia sebagian besar diakibatkan oleh
ulah manusia. Baik berupa konversi mangrove menjadi sarana pemanfaatan
lain seperti pemukiman, industri, rekreasi dan lain sebagainya. Berdasarkan
data Kementerian Kelautan dan Perikanan potensi sumberdaya mangrove, 3,7
juta hektar dari total 9,36 juta hektar tersebut, berada di
kawasan hutan. Sedangkan 5,66 juta hektar lainnya, berada di luar kawasan
hutan. Untuk mengembalikan fungsi hutan mangrove, Kementerian Kelautan
dan Perikanan terus menggalakkan penanaman kembali hutan mangrove yang telah
rusak. Padahal, keberadaan hutan mangrove sangat penting bagi kehidupan. Selain
sebagai penyerapan polutan, juga melindungi pantai dari abrasi, meredam ombak,
serta menahan sedimen. Di samping itu, mangrove juga dapat meredam air laut
pasang yang mengakibatkan banjir rob serta tempat berkembang biaknya biota laut
(Indomaritimeinstitute, 2013).
Peran Pemerintah dalam Mengurangi Emisi Karbon Melalui Hutan
Mangrove
Kebijakan
pemerintah selama ini lebih berbasis pada pengolahan lahan darat, bukan lahan
pesisir. Hutan mangrove selama ini banyak berubah fungsi menjadi lahan tambak,
perkebunan sawit dalam skala besar, area pemukiman dan penebangan liar.
Kedepan, perlu Perda Tata Ruang di masing-masing daerah yang menata dan
mengendalikan perubahan fungsi diatas. Hal ini dipandang penting dan mendesak
karena, terkait dengan skema REDD+, hutan mangrove Indonesia diproyeksikan
berperan penting dalam program pengurangan emisi karbon. Walaupun luasnya hanya
2,5 persen kawasan hutan tropis, kerusakan ekosistem ini berdampak jauh lebih
besar daripada kerusakan hutan konvensional. Menghancurkan 1 Ha hutan mangrove,
emisinya setara dengan menebang 3-5 Ha hutan tropis (Theo, 2012).
Di
sisi lain, hutan mangrove sangat berpotensi mendukung penghidupan masyarakat
pesisir. Dampak menyusutnya hutan mangrove di Pantai Segara Anakan Tengah
misalnya, menyebabkan tangkapan ikan, kepiting dan kerang nelayan di Cilacap
menjadi berkurang. Saat ini diperkirakan 40 – 60 juta penduduk Indonesia hidup
di wilayah pesisir, sehingga kelangsungan hidup warga pesisir dan pelestarian hutan
mangrove sama-sama perlu perhatian serius semua pemangku kepentingan. Dalam
kurun 30 tahun, apabila tidak ditangani secara optimal dikhawatirkan hutan
mangrove akan mengalami kerusakan dan penyusutan yang luar biasa. Hal ini akan
merugikan masyarakat pesisir dan ekosistem alam itu sendiri. Untuk mencegah hal
ini, perlu tekad kuat seluruh elemen bangsa melalui pendekatan lintas sektor
yang lebih koordinatif dengan melibatkan unsur birokrasi, akademisi, LSM, dunia
usaha dan masyarakat luas (Theo, 2012).
Dalam
konteks pemberdayaan masyarakat, pemberdayaan masyarakat pesisir
dilakukan melalui pendampingan oleh perguruan tinggi/akademisi secara
langsung untuk membangun pembelajaran yang positif. Sebagai contoh Universitas
Soedirman telah melakukan upaya penelitian dan pemberdayaan masyarakat
pesisir sekitar hutan mangrove sebagai wujud pengabdian masyarakat. Mereka
berupaya agar masyarakat pesisir sekitar hutan mangrove memiliki kemampuan,
pengetahuan dan teknologi untuk mengolah sumber daya hutan mangrove
dengan bijak. Bila masyarakat sadar bahwa mangrove dapat menjamin
kelangsungan hidup mereka, diharapkan mereka akan mempertahankan, memelihara,
melindungi habitat hutan mangrove sehingga terwujud pelestarian ekosistem
mangrove yang berkesinambungan (Theo, 2012).
Peran
pemerintah daerah dalam pengendalian kerusakan hutan mangrove sangat penting.
Selain untuk mempertahankan ekosistem hutan mangrove, peranan pemerintah daerah
juga dapat menyelamatkan sumber penghidupan masyarakat pesisir. Dengan
demikian, penetapan Perda Tata Ruang Daerah disertai dengan penegakan hukum
secara konsekuen sangat diharapkan. Pelestarian hutan mangrove merupakan suatu
keharusan yang perlu segera dilaksanakan. Apabila tidak, maka kekayaan
keanekaragaman hayati yang terkandung didalamnya akan musnah dan keseimbangan
alam akan terganggu. Perlu peningkatan peran pemerintah daerah untuk lebih
mengedepankan pengelolaan dan pelestarian Lingkungan Hidup di wilayah
masing-masing. Saat ini mayoritas pemerintah daerah menempatkan anggaran
pengelolaan lingkungan hidup pada prioritas ke 18 dari 19 urusan (Theo, 2012).
Lahan
gambut dan kehtanan merupakan sumber terbesar emisi gas rumah kaca di
Indonesia. Emisi dari lahan gambut mencapai sekitar 45% dari keseluruhan emisi
gas rumak kaca di Indonesia saat ini. Untuk sektor kehutanan emisinya mencapai
lebih dari 35% (DNPI, 2009). Perubahan tata guna lahan akibat deforestasi
merupakan sumber emisi karbon yang memberikan sumbangan nyata bagi pemanasan
global serta melepaskan CO2 ke atmosfir dalam jumlah yang lebih
besar dari seluruh sektor transportasi (CIFOR, 2008).
Draf
laporan kajian Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) menunjukkan bahwa
Indonesia berpotensi mengurangi emisi gas rumah kacanya sebesar 60% sampai
dengan tahun 2030 dengan kombinasi yang tepat antara kebijakan dalam negeri dan
dukungan internasional. Perubahan kebijakan dan kelembagaan di sektor
kehutanan, pembangkitan listrik dan transportasi, serta pengelolaan lahan
gambut, merupakan peluang bagi Indonesia untuk beralih ke jalur ekonomi yang
lebih berkelanjutan, seirinh dengan penggunaan energi dan sumber daya alam yang
semakin efisien (DNPI, 2009).
Menurut
Aziz (2010), diperkirakan daerah mangrove di Indonesia dapat menyerap emisi
karbondioksida sebanyak 75,4 juta ton yang kemudian diendapkan ke dalam lumpur
dan dilepaskan sebagai oksigen untuk dihirup manusia. Ditambahkan juga oleh
Finesso (2012), hutan mangrove diproyeksikan menjadi andalan program
pengurangan emisi karbon di Indonesia. Hutan mangrove yang dikategorikan
ekosistem lahan basah mampu menyimpan 800-1200 ton CO2 per ha.
Pelepasan emisi ke udara pada hutan mengrove lebih kecil daripada hutan di
daratan. Pembusukan serasah tanaman akuatik tidak melepaskan karbon ke udara.