PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Perbanyakan tanaman
melalui kultur jaringan secara in-vitro
mempunyai keuntungan yakni mampu menghasilkan tanaman dalam jumlah banyak tanpa
bergantung pada kondisi geografis dan musim dari suatu tempat. Salah satu
tujuan perbanyakan tanaman secara in-vitro
yakni sebagai upaya pelestarian plasma nutfah. Wattimena et al. (1992) menyatakan bahwa pelestarian plasma nutfah secara in-vitro mempunyai beberapa keuntungan
dibandingkan dengan cara in-situ.
Keuntungan tersebut antara lain: hemat dalam pemakaian ruang, dapat menyimpan
tanaman langka yang hampir punah, dapat digunakan untuk tanaman yang tidak
menghasilkan biji, bebas dari segala gangguan hama dan penyakit, serta dapat
disimpan dalam keadaan bebas penyakit. Namun, pemilihan bahan tanaman untuk
kultur (eksplan) yang tepat adalah salah satu faktor penentu keberhasilkan
metode teknik jaringan tersebut.
Eksplan merupakan bagian
dari tanaman (jaringan, organ, sejumlah sel atau bagian dari masa kalus) yang
digunakan dalam kultur in-vitro.
Eksplan yang baik harus memenuhi syarat bebas dari organisme lain, memiliki
potensi regenerasi dan pertumbuhan yang tinggi (Gunawan, 2004). Bagian tanaman
yang biasa digunakan sebagai sumber eksplan antara lain adalah tunas pucuk,
tunas ketiak, akar mata tunas, daun, embrio, dan bakal biji (Gamborg dan
Shyluk, 1981 dalam Darwati, 2007). Tingkat
keberhasilan dari berbagai sumber eksplan tidak sama untuk tiap jenis tanaman.
Suaria (2000) dalam Darwati (2007)
menyebutkan bahwa sumber eksplan dapat berasal dari lapang atau diambil dari
kultur in-vitro yang sudah ada.
Eksplan yang berasal dari lapang memerlukan sterilisasi, sedangkan eksplan yang
berasal dari kultur in-vitro tidak
memerlukan sterilisasi karena sudah steril.
Beberapa penelitian telah
berhasil dilakukan melalui kultur in-vitro
dengan menggunakan eksplan berupa daun, yaitu pada tembakau (Nicotiana tabacum L.) (Dhaliwal et al. 2004; Ali et al. 2007; Nisak et al.
2012), sambiloto (Andrographis paniculata,
Nees.) (Fitrianti, 2006), dan purwoceng (Pimpinella
pruatjan Molk.) (Darwati, 2007). Penelitian dengan menggunakan eksplan
berupa embrio juga telah banyak dilakukan dan menunjukkan adanya keberhasilan,
yaitu pada padi (Oryza sativa L.
(Purnamaningsih, 2006; Shanthi et al.
2010; Ghobeishavi et al., 2015), mimba
(Azadirachta indica A. Juss.)
(Chaturvedi et al. 2004), pepaya (Carica papaya L.) (Damayanti et al. 2007), anggrek bulan (Phalaenopsis amabilis (L.) Bl) (Utami,
2007), dan Carica sp. (Azad et al., 2012).
Adanya pelukaan pada
eksplan dapat memunculkan suatu massa sel yang disebut kalus. Kalus merupakan
massa sel yang tidak berdiferensiasi atau belum terorganisir terbentuk di
sekitar luka atau akibat kerja hormon auksin dan sitokinin. Kalus tersusun atas
sel-sel parenkim (George dan Sherington, 1984; Pierik, 1987). Berdasarkan Gunawan
(1988) disebutkan bahwa hormon-hormon tanaman yang biasanya digunakan dalam
kultur jaringan yaitu auksin (Indole
Acetic Acid (IAA), Naphtalene Acetic
Acid (NAA), Indole Butiric Acid
(IBA), dan 2-4-di-Chlorophenoxy Acetic
Acid (2,4-D)); Sitokinin (Kinetin, Zeatin, Benzyl Amino Purine/Benzyl
Adenin (BAP/BA) dan 2-Isophenthyl
Adenin (2Ip); dan Giberelin. Menurut Suryowinoto (1996), banyak yang
memakai zat-zat hormon untuk menginduksi pembentukan kalus. Hormon yang
biasanya digunakan yakni dari kelompok auksin. Pemakaiannya tersebut dari
jumlah yang sedikit hingga banyak, serta didampingi hormon kelompok auksin.
Guna memacu pembentukan kalus banyak digunakan 2,4-D atau NAA. NAA digunakan
apabila dimaksudkan ingin menghindari terjadi mutasi pada hasil kultur. Penggunaan
2,4-D untuk menginduksi munculnya kalus dari eksplan telah juga banyak
dilakukan pada berbagai spesies tanaman, misalnya: pada tanaman anggrek Dendrobium Jakarta molek (Indarjo,
2003), stevia (Stevia rebaudiana)
(Babu et al. 2011), anggur hijau (Vitis vinifera L.) (Dwi et al. 2012), padi (Oryza sativa L.) (Shanthi et al. 2010; Ghobeishavi et
al., 2015).
Pemahaman terkait teknik kultur jaringan dengan
menggunakan berbagai sumber eksplan dan penggunaan hormon sangat diperlukan
bagi setiap orang yang bekerja di bidang biologi kultur in-vitro guna mengoptimalkan tingkat keberhasilan dikarenakan
setiap sel tanaman mempunyai tingkah laku yang berbeda-beda. Berdasarkan uraian
tersebut praktikum ini sangat perlu dilakukan untuk membekali berupa
keterampilan dan pengetahuan pada mahasiswa sebelum melakukan penelitian yang
berhubungan dengan kegiatan kultur in-vitro
tanaman.
Tujuan
Praktikum
Tujuan dilaksanakan
praktikum ini meliputi:
1.
Mengetahui cara perlakuan sterilisasi pada
sumber eksplan yang berbeda.
2. Mengetahui pengaruh
perbedaan konsentrasi 2,4-D terhadap kecepatan munculnya kalus.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sterilisasi
Sumber Eksplan
Sumber eksplan yang
digunakan pada praktikum ini terdiri dari tiga macam yaitu helai daun tembakau,
tangkai daun (petiol) daun tembakau,
dan embrio padi. Sterilisasi permukaan hanya dilakukan pada sumber eksplan
embrio padi karena diperoleh dari luar kondisi steril. Sterilisasi tidak
dilakukan pada sumber eksplan tembakau karena diperoleh dari hasil kultur in-vitro sebelumnya. Diasumsikan bahwa
sumber eksplan tembakau sudah dalam keadaan steril sehingga tidak dilakukan
sterilisasi permukaan seperti halnya embrio padi. Sterilisasi embrio padi
dilakukan dengan merendam dalam larutan bayclin 20 % yang ditambahkan 2 tetes
tween selama 20 menit. Bahan aktif yang terkandung di dalam larutan bayclin
yakni berupa NaOCl akan menjadi agen sterilan bagi eksplan. Tujuan utama
dilakukan sterilisasi yaitu untuk membunuh mikroorganisme yang dapat menjadi
kontaminan bagi eksplan. Menurut Sandra dan Karyaningsih (2000), sterilisasi
adalah proses untuk mematikan atau menonaktifkan spora dan mikroorganisme
sampai ke tingkat yang tidak memungkinkan lagi berkembang biakatau menjadi
sumber kontaminan
selama proses perkembangan berlangsung.
Sterilisasi eksplan pada
praktikum ini termasuk ke dalam sterilisasi secara kimia karena agen sterilan
yang digunakan berupa bahan kimia yakni larutan bayclin 20 %. Menurut
Hendaryono dan Wijayani (1994) sterilisasi eksplan dapat dilaksanakan dengan dua cara, yaitu secara
mekanik dan secara kimia. Sterilisasi eksplan
secara mekanik digunakan untuk eksplan yang keras (misalnya tebu, biji salak, dan sebagainya) atau berdaging
(misalnya wortel, umbi, dan sebagainya). Sterilisasi secara mekanik dilakukan dengan
membakar eksplan tersebut di atas lampu spiritus sebanyak tiga kali. Sterilisasi
eksplan secara kimia digunakan untuk eksplan yang lunak (jaringan muda) seperti
daun, tangkai daun, anther, dan sebagainya.
Bahan-bahan kimia yang
sering digunakan untuk sterilisasi permukaan eksplan antara lain:
1.
Sodium hipoklorit
Nama dagangnya adalah
clorox dan bayclin. Konsentrasi yang digunakan untuk sterilisasi tergantung
dari tingkat kelunakan eksplan. Konsentrasi yang digunakan berkisar 5-20 % dan waktunya
antara 5-10 menit.
2. Mercuri klorit
Nama dagangnya adalah
sublimat 0.05 %. Penggunaan bahan kimia ini harus hati-hati karena bersifat
racun. Cara perlakuan sterilisasinya sama dengan clorox, hanya waktunya lebih pendek
karena sublimat bersifat keras.
3.
Alkohol
70 %
Alkohol lebih banyak
diperdagangkan dalam bentuk alkohol 95 %. Jamur biasanya mati dengan alkohol 70
%, sedangkan dengan alkohol 95 % masih tetap hidup.
Prinsip dasar
sterilisasi eksplan adalah mensterilkan eksplan dari berbagai mikroorganisme,
tetapi eksplannya tidak ikut mati. Setiap tanaman memerlukan perlakuan khusus
sehingga sebelum mengulturkan tanaman baru perlu melakukan percobaan
sterilisasi. Terdapat sekitar sepuluh jenis bahan yang digunakan dalam
sterilisasi permukaan, yaitu kalsium hipoklorit, natrium hipoklorit, hidrogen
peroksida, gas klorin, perak nitrat, merkuri klorit, betadin, fungisida, antibiotik,
dan alkohol (Gunawan 1987; Sandra 2003).
Pengaruh
Perbedaan Konsentrasi 2,4-D Terhadap Kecepatan Induksi Kalus
Kalus merupakan
sekumpulan sel yang belum terdiferensiasi yang berkembang dari eksplan.
Kecepatan munculnya kalus dari suatu ekspan dipengaruhi oleh komposisi media.
Pada praktikum ini digunakan hormon 2,4-D sebagai senyawa yang akan menginduksi
munculnya kalus dari eksplan. Konsentrasi 2,4-D yang ditambahkan pada media
kultur MS yakni 1 dan 3 ppm. Hasil pengamatan pada praktikum menunjukkan bahwa
media MS dengan penambahan 2,4-D 1 ppm lebih sesuai untuk menginduksi munculnya
kalus dibandingkan dengan media MS dengan penambahan 2,4-D 3 ppm. Pertumbuhan
kalus sudah mulai terlihat pada eksplan helai daun tembakau dan embrio padi
pada umur 1 minggu. Pertumbuhan kalus pada minggu ke-1 belum terlihat pada
eksplan petiol daun tembakau. Petiol daun tembakau pada minggu ke-1
masih memperlihatkan tingkah laku berupa pelengkungan eksplan. Pada minggu ke-2
dapat mulai terlihat kalus mulai berkembang sehingga menunjukkan adanya
peningkatan ukuran. Namun pada minggu ke-2 dan hingga minggu ke-4 dapat diamati
bahwa pada perlakuan 2,4-D 3 ppm menunjukkan adanya gejala penghitaman pada
eksplan terutama pada embrio padi. Pada perlakuan 2,4-D 3 ppm menunjukkan
adanya penghambatan kecepatan tumbuh pada semua eksplan. Pertumbuhan kalus
terlihat lebih baik pada perlakuan 2,4-D 1 ppm yang dapat diamati hingga minggu
ke-4. Selain menunjukkan adanya pertumbuhan kalus, pada eksplan embrio padi
juga menunjukkan pertumbuhan tunas dan akar. Pada minggu ke-3 sudah dapat
diamati pertumbuhan kalus pada eksplan petiol
daun tembakau baik pada perlakuan 1 ppm. Berdasarkan sumber eksplan yang
digunakan dapat diketahui jika eksplan yang berasal dari helai daun cenderung
lebih cepat memperlihatkan pertumbuhan kalus dibandingkan petiol daun tembakau (Gambar 1).
Gambar 1. Pertumbuhan eksplan pada media MS: (a-e)
embrio padi IR64; (f-j) helai daun tembakau; (k-o) petiol daun tembakau (Keterangan: tanda panah warna merah:
organisasi kalus; tanda panah warna hitam: tunas embrio padi; tanda panah warna
biru: akar embrio padi; tanda panah warna oranye: organisasi kalus yang
menghitam)
Berdasarkan perubahan
ukuran sel, metabolisme dan penampakan kalus, proses perubahan dari eksplan
menjadi kalus dapat dibagi menjadi tiga tahap yaitu induksi, pembelahan dan
diferensiasi. Pada tahap induksi, sel siap membelah, metabolisme menjadi aktif
dan ukuran sel tetap konstan. Tahap pembelahan, sel aktif membelah atau
bersifat meristematik dan terjadi penurunan ukuran sel. Akhir pertumbuhan kalus
ditandai dengan peningkatan diferensiasi yang dicirikan dengan pembesaran sel,
sel menjadi bervakuola dan penurunan laju pembelahan (Aitchison et al. 1977).
Pertumbuhan kalus dapat
digambarkan dalam bentuk kurva sigmoid, biasanya terdiri dari lima fase yaitu
(1) lag phase, sel siap untuk
membelah, (2) periode pertumbuhan eksponensial, pembelahan sel maksimal, (3)
periode pertumbuhan linier, pembelahan sel menurun dan terjadi pembesaran
ukuran sel. (4). Periode penurunan kecepatan tumbuh. (5) stasioner atau periode
tidak ada pertumbuhan, jumlah sel konstan (Smith 2000). Berdasarkan tekstur
dan sifat fisik kalus dapat diamati bahwa kalus-kalus yang terbentuk dari semua
sumber eksplan termasuk tipe remah (friable)
dengan warna kalus putih kekuningan (Gambar 2).
Gambar 2. Tekstur kalus dari beberapa eksplan: (a). petiol daun tembakau; (b). embrio padi IR64; (c). helai daun tembakau
Induksi kalus pada
praktikum ini menggunakan hormon 2,4-D 1 ppm dan 3 ppm yang termasuk kedalam
kelompok hormon Auksin. Auksin merupakan salah satu golongan fitohormon
baik alamiah maupun sintetik yang menginduksi pemanjangan sel dan juga dalam kasus
pembelahan sel. Golongan persenyawaan ini juga memengaruhi dominasi apikal,
penghambatan pucuk aksilar dan adventif, serta inisiasi pengakaran (Wattimena et al. 1992). Selain itu, secara
fisiologis auksin berperan dalam aktivitas kambium dan absisi (Wattimena 1986).
Watherell (1982) menyatakan bahwa auksin memiliki dua peran yaitu: (1)
merangsang pembelahan dan pembesaran sel yang terdapat pada pucuk tanaman dan
menyebabkan pertumbuhan pucuk-pucuk baru. Secara alami beberapa eksplan
meproduksi auksin dalam jumlah yang cukup, tetapi kebanyakan membutuhkan
tambahan, paling tidak auksin yang tidak stabil, seperti misalnya IAA dalam
jumlah yang kecil. Penambahan auksin yang lebih stabil, misalnya NAA atau 2,4-D
cenderung meyebabkan terjadinya pertumbuhan kalus dari eksplan dan menghambat
regenerasi pucuk tanaman dan (2). Merangsang pembentukan akar tetapi kadar
auksin yang optimal untuk merengsang pembentukan primordia akar biasanya
terlalu tinggi untuk merangsang perpanjangan akar.
Kegiatan induksi kalus
pada praktikum ini tidak menunjukkan keberhasilan 100 % karena terjadi
kontaminasi pada kultur. Kontaminasi yang terjadi dapat diamati dengan
munculnya mikroorganisme pada media atau eksplan. Kontaminan berupa bakteri dan
cendawan. Kontaminasi ini terlihat sejak eksplan berumur 1 minggu. Hingga
minggu ke-3 juga masih dijumpai adanya kultur yang mengalami kontaminasi.
Kontaminasi yang disebabkan oleh cendawan ataupun bakteri memiliki karakter
yang berbeda. Kontaminasi eksplan oleh cendawan ditunjukkan adanya pertumbuhan
hifa pada media/eksplan, sedangkan kontaminasi oleh bakteri terlihat adanya
struktur berlendir pada media/eksplan (Gambar 3). Menurut Wetherell (1982) masalah
yang sering mengganggu dalam pekerjaan in-vitro
adalah membuat dan menjaga kondisi aseptik, baik kondisi lingkungan maupun
kondisi eksplannya. Oleh karena itu apabila memindah-tanamkan bagian tanaman
dari satu wadah ke wadah yang lain, diusahakan jangan menyentuh permukaan
bagian dalam dari wadah dengan tangan atau bagian alat yang tidak steril .
Gambar 3. Kontaminasi eksplan oleh (a). cendawan dan (b). bakteri
Terjadinya kontaminasi pada eksplan menurut Marbun (2006) disebabkan karena
metode sterilisasi yang masih kurang sesuai dan bahan tanaman yang digunakan
sudah terkontaminasi secara internal. Yusnita (2003) menyebutkan bahwa
kontaminasi internal berasal dari mikroorganisme endofitik (mikroorganisme yang
hidup di dalam sel atau ruang antarsel tumbuhan). Mikroorganisme ini merupakan
biota dari tanaman sumber eksplan yang sulit diatasi dengan sterilisasi
permukaan. Hasil penelitian Marbun (2006) ditemukan banyak kontaminan berupa
cendawan dan bakteri pada eksplan dari tunas aksilar dan tunas apikal mahkota
tanaman nenas (Ananas comosus (L.)
Merr.). Bakteri sering tidak muncul pada saat eksplan baru dikulturkan, tetapi
muncul beberapa minggu kemudian. Bakteri tersebut tetap ada walaupun dilakukan
sterilisasi permukaan berkali-kali, karena hidupnya secara endofit di dalam
jaringan tumbuhan.
SIMPULAN
Perlakuan sterilisasi
eksplan berbeda tergantung sumbernya. Eksplan yang berasal dari tanaman hasil
kultur in-vitro (tembakau) maka tidak
dilakukan sterilisasi permukaan, sedangkan eksplan yang berasal dari luar
kondisi in-vitro (padi IR64) agar
dapat dikulturkan harus dilakukan sterilisasi permukaan terlebih dahulu.
Konsentrasi 2,4-D 1 ppm lebih sesuai digunakan untuk induksi kalus dibandingkan
2,4-D 3 ppm. Eksplan berupa daun lebih cepat menunjukkan adanya pertumbuhan
kalus dibandingkan dengan eksplan yang berupa petiol.