Jumat, 04 Januari 2013

POTENSI HUTAN MANGROVE DALAM MENGURANGI EMISI KARBON DI INDONESIA



Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosisstemnya merupakan suatu kekuatan dalam pelaksanaan konservasi kawasan hutan mangrove. Di dalam undang-undang tersebut terdapat tiga aspek yang sangat penting, yakni sebagai berikut.
1. Perlindungan terhadap sistem penyangga kehidupan dengan menjamin terpeliharanya proses ekologi bagi kelangsungan hidupbiota dan keberadaan ekosistemnya.
2. Pengawetan sumber plasma nutfah, yaitu menjamin terpeliharanya sumber genetik dan ekosistemnya, yang sesuai bagi kepentingan kehidupan umat manusia.
3.      Pemanfaatna secara lestari atau berkelanjutan, baik berupa produksi dan jasa.
Pada mulanya, hutan mangrove hanya dikenal secara terbatas oleh kalangan ahli lingkungan, terutama lingkungan laut. Mula-mula, kawasan hutan mangrove dikenal dengan istilah Vloedbosh, kemudian dikenal dengam istilah “payau” karena sifat habitatnya yang payau. Berdasarkan dominasi jenis pohonnya, yaitu bakau, maka kawasan mangrove juga disebut sebagai hutan bakau. Kata mangrove  merupakan kombinasi antara kata mangue (bahasa Portugis) yang berarti tumbuhan dan grove (bahasa Inggris) yang berarti belukar atau hutan kecil (Arief, 2003).
Menurut Mac nae (1968), kata mangrove digunakan untuk menyebut jenis pohon-pohon atau semak-semak yang tumbuh di antara batas air tertinggi saat air pasang dan batas air terendah sampai di atas rata-rata permukaan laut. Sebenarnya, kata mangrove digunakan untuk menyebut masyarakat tumbuh-tumbuhan dari beberapa spesies yang mempunyai perakaran Pneumatophores dan tumbuh di antara garis pasang surut. Sehingga hutan mangrove juga disebut “hutan pasang” (Steenis, 1978).

Fungsi dan Manfaat Hutan Mangrove
Menurut Arief (2003), secara garis besar, penjelasan bahwa mangrove mempunyai beberapa keterkaitan dalam pemenuhan kebutuhan manusia sebagai penyedia bahan pangan, papam, dan kesehatan serta lingkungan dibedakan menjadi lima, yaitu fungsi fisik, fungsi kimia, fungsi biologi, fungsi ekonomi, dan fungsi lain (wanawisata).

Fungsi Fisik
Fungsi fisik kawasan mangrove adalah sebagai berikut: menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dan tebing sungai dari proses erosi atau abrasi, serta menahan atau menyerap tiupan angin kencang dari laut ke darat, menahan sedimen secara periodik sampai terbentuk lahan baru, sebagai kawasan penyangga proses intrusi atau rembesan air laut ke darat, atau sebagai filter air asin menjadi tawar (Arief, 2003).
Fungsi Kimia
Fungsi kimia kawasan hutan mangrove adalah sebagai berikut: sebagai tempat terjadinya proses daur ulang yang menghasilkan oksigen, sebagai penyerap karbondioksida (penyerap emisi karbon) (Aziz, 2010), dan sebagai pengolah bahan-bahan limbah hasil pencemaran industri dan kapal-kapal di lautan (Arief, 2003).
Fungsi Biologi
Fungsi biologi kawasan mangrove adalah sebagai berikut: sebagai penghasil bahan pelapukan yang merupakan sumber makanan penting bagi invertebrata kecil pemakan bahan pelapukan (detritus), yang kemudian berperan sebagai sumber makanan bagi hewan yang lebih besar, sebagai kawasan pemijah atau asuhan (nursery ground) bagi udang, ikan, kepiting, kerang, dan sebagainya, yang setelah dewasa akan kembali ke lepas pantai, sebagai kawasan untuk berlindung, bersarang, serta berkembang biak bagi burung dan satwa lain, sebagai sumber plasma nutfah dan sumber genetika, dan sebagai habitat alami berbagai jenis biota darat dan laut lainnya (Arief, 2003).
 Fungsi Ekonomi
Mangrove sejak lama telah dimanfaatkan oleh masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Tercatat sekitar 67 macam produk yang dapat dihasilkan oleh ekosistem hutan mangrove dan sebagian besar telah dimanfaatkan oleh masyarakat, misalnya untuk bahan bakar (kayu bakar, arang, alkohol); bahan bangunan (tiang-tiang, papan, pagar); alat-alat penangkapan ikan (tiang sero, bubu, pelampung, tanin untuk penyamak); tekstil dan kulit (rayon, bahan untuk pakaian, tanin untuk menyamak kulit); makanan, minuman dan obat-obatan (gula, alkohol, minyak sayur, cuka); peralatan rumah tangga (mebel, lem, minyak untuk menata rambut); pertanian (pupuk hijau); chips untuk pabrik kertas dan lain-lain (Arief, 2003).

 Jenis-jenis Vegetasi Hutan Mangrove
Pada umumnya, vegetasi yang tumbuh di kawasan mangrove mempunyai variasi yang seragam, yakni hanya terdiri atas satu strata yang berupa pohon-pohon yang berbatang lurus dengan tinggi pohon mencapai 20 m – 30 m. Jika tumbuh di pantai berpasir atau terumbu karang, tanaman akan tumbuh kerdil, rendah, dan batang tanaman seringkali bengkok. Hutan mangrove terdiri atas berbagai jenis vegetasi. Beberapa jenis yang dikenal antara lain tanjang wedok (Rhizophora apiculata Bl.) atau bakau putih atau bakau gede, tanjang lanang (R. mucronata Lmk.) atau bakau hitam atau bakau leutik, dan bakau (R. stylosa Griff.). beberapa jenis vegetasi yang terdapat di hutan mangrove ditunjukkan dalam Gambar 1. (Arief, 2003).
Sebenarnya, istilah tanjang adalah sebutan khusus untuk Bruguiera yang digolongkan ke dalam famili yang sama dengan Rhizophoraceae. Namun, telah terjadi salah pengertian dalam masyarakat, terutama masyarakat pesisir yakni tercampur dengan istilah daerah, sehingga pengertiannya menjadi rancu untuk seterusnya (Arief, 2003).

Gambar 1. Buah R. Mucronata (a), R. Apiculata (b), B. Gymnorrhiza (c), Avicennia spp. (d), dan S. Alba (e) (Arief, 2003)

Hutan Mangrove di Indonesia
Berdasarkan data terbaru Badan Informasi Geospasial, luas hutan mangrove di Indonesia hanya 3,2 juta hektar (ha). Namun, jumlah itu merupakan 22 persen dari seluruh ekosistem sejenis di dunia. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa posisi hutan mangrove Indonesia cukup strategis sebagai penyangga ekosistem mangrove dunia (Theo, 2012). Hutan mangrove Indonesia merupakan hutan mangrove terluas di dunia. Luas ekosistem mangrove di Indonesia mencapai 75 persen dari total mangrove di Asia Tenggara, atau sekitar 27 persen dari luas mangrove di dunia. Kekhasan ekosistem mangrove Indonesia adalah memiliki keragaman jenis yang tertinggi di dunia. Sebaran mangrove di Indonesia terutama di  wilayah pesisir Sumatera, Kalimantan dan Papua. Namun demikian, kondisi mangrove Indonesia baik secara kualitatif dan kuantitatif terus menurun dari tahun ke tahun (Indomaritimeinstitute, 2013).
Saat ini, tercatat Indonesia mempunyai hutan mangrove seluas 9,36 juta hektar yang tersebar di seluruh Indonesia. Sekitar 48 persen atau seluas 4,51 juta hektar rusak sedang dan 23 persen atau 2,15 juta hektare lainnya rusak berat. Kerusakan  hutan mangrove di Indonesia sebagian besar diakibatkan oleh ulah manusia. Baik berupa konversi mangrove menjadi sarana  pemanfaatan lain seperti pemukiman, industri, rekreasi dan lain sebagainya. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan  potensi sumberdaya mangrove, 3,7 juta hektar dari total  9,36 juta hektar  tersebut,  berada di kawasan hutan. Sedangkan 5,66 juta hektar lainnya, berada di luar kawasan hutan. Untuk  mengembalikan fungsi hutan mangrove, Kementerian Kelautan dan Perikanan terus menggalakkan penanaman kembali hutan mangrove yang telah rusak. Padahal, keberadaan hutan mangrove sangat penting bagi kehidupan. Selain sebagai penyerapan polutan, juga melindungi pantai dari abrasi, meredam ombak, serta menahan sedimen. Di samping itu, mangrove juga dapat meredam air laut pasang yang mengakibatkan banjir rob serta tempat berkembang biaknya biota laut (Indomaritimeinstitute, 2013).

Peran Pemerintah dalam Mengurangi Emisi Karbon Melalui Hutan Mangrove
Kebijakan pemerintah selama ini lebih berbasis pada pengolahan lahan darat, bukan lahan pesisir. Hutan mangrove selama ini banyak berubah fungsi menjadi lahan tambak, perkebunan sawit dalam skala besar, area pemukiman dan penebangan liar. Kedepan, perlu Perda Tata Ruang di masing-masing daerah yang menata dan mengendalikan perubahan fungsi diatas.  Hal ini dipandang penting dan mendesak karena, terkait dengan skema REDD+, hutan mangrove Indonesia diproyeksikan berperan penting dalam program pengurangan emisi karbon. Walaupun luasnya hanya 2,5 persen kawasan hutan tropis, kerusakan ekosistem ini berdampak jauh lebih besar daripada kerusakan hutan konvensional. Menghancurkan 1 Ha hutan mangrove, emisinya setara dengan menebang 3-5 Ha hutan tropis (Theo, 2012).
Di sisi lain, hutan mangrove sangat berpotensi mendukung penghidupan masyarakat pesisir. Dampak menyusutnya hutan mangrove di Pantai Segara Anakan Tengah misalnya, menyebabkan tangkapan ikan, kepiting dan kerang nelayan di Cilacap menjadi berkurang. Saat ini diperkirakan 40 – 60 juta penduduk Indonesia hidup di wilayah pesisir, sehingga kelangsungan hidup warga pesisir dan pelestarian hutan mangrove sama-sama perlu perhatian serius semua pemangku kepentingan. Dalam kurun 30 tahun, apabila tidak ditangani secara optimal dikhawatirkan hutan mangrove akan mengalami kerusakan dan penyusutan yang luar biasa. Hal ini akan merugikan masyarakat pesisir dan ekosistem alam itu sendiri. Untuk mencegah hal ini, perlu tekad kuat seluruh elemen bangsa melalui pendekatan lintas sektor yang lebih koordinatif dengan melibatkan unsur birokrasi, akademisi, LSM, dunia usaha dan masyarakat luas (Theo, 2012).
Dalam konteks pemberdayaan masyarakat, pemberdayaan masyarakat pesisir  dilakukan melalui pendampingan  oleh perguruan tinggi/akademisi secara langsung untuk membangun pembelajaran yang positif. Sebagai contoh Universitas Soedirman telah melakukan  upaya penelitian dan pemberdayaan masyarakat pesisir sekitar hutan mangrove sebagai wujud pengabdian masyarakat. Mereka berupaya agar masyarakat pesisir sekitar hutan mangrove memiliki kemampuan, pengetahuan dan teknologi  untuk mengolah sumber daya  hutan mangrove dengan bijak.  Bila masyarakat sadar bahwa mangrove dapat menjamin kelangsungan hidup mereka, diharapkan mereka akan mempertahankan, memelihara, melindungi habitat hutan mangrove sehingga terwujud pelestarian ekosistem mangrove yang berkesinambungan (Theo, 2012).
Peran pemerintah daerah dalam pengendalian kerusakan hutan mangrove sangat penting. Selain untuk mempertahankan ekosistem hutan mangrove, peranan pemerintah daerah juga dapat menyelamatkan sumber penghidupan masyarakat pesisir. Dengan demikian, penetapan Perda Tata Ruang Daerah disertai dengan penegakan hukum secara konsekuen sangat diharapkan. Pelestarian hutan mangrove merupakan suatu keharusan yang perlu segera dilaksanakan. Apabila tidak, maka kekayaan keanekaragaman hayati yang terkandung didalamnya akan musnah dan keseimbangan alam akan terganggu. Perlu peningkatan peran pemerintah daerah untuk lebih mengedepankan pengelolaan dan pelestarian Lingkungan Hidup di wilayah masing-masing. Saat ini mayoritas pemerintah daerah menempatkan anggaran pengelolaan lingkungan hidup pada prioritas ke 18 dari 19 urusan (Theo, 2012).
Lahan gambut dan kehtanan merupakan sumber terbesar emisi gas rumah kaca di Indonesia. Emisi dari lahan gambut mencapai sekitar 45% dari keseluruhan emisi gas rumak kaca di Indonesia saat ini. Untuk sektor kehutanan emisinya mencapai lebih dari 35% (DNPI, 2009). Perubahan tata guna lahan akibat deforestasi merupakan sumber emisi karbon yang memberikan sumbangan nyata bagi pemanasan global serta melepaskan CO2 ke atmosfir dalam jumlah yang lebih besar dari seluruh sektor transportasi (CIFOR, 2008).
Draf laporan kajian Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) menunjukkan bahwa Indonesia berpotensi mengurangi emisi gas rumah kacanya sebesar 60% sampai dengan tahun 2030 dengan kombinasi yang tepat antara kebijakan dalam negeri dan dukungan internasional. Perubahan kebijakan dan kelembagaan di sektor kehutanan, pembangkitan listrik dan transportasi, serta pengelolaan lahan gambut, merupakan peluang bagi Indonesia untuk beralih ke jalur ekonomi yang lebih berkelanjutan, seirinh dengan penggunaan energi dan sumber daya alam yang semakin efisien (DNPI, 2009).
Menurut Aziz (2010), diperkirakan daerah mangrove di Indonesia dapat menyerap emisi karbondioksida sebanyak 75,4 juta ton yang kemudian diendapkan ke dalam lumpur dan dilepaskan sebagai oksigen untuk dihirup manusia. Ditambahkan juga oleh Finesso (2012), hutan mangrove diproyeksikan menjadi andalan program pengurangan emisi karbon di Indonesia. Hutan mangrove yang dikategorikan ekosistem lahan basah mampu menyimpan 800-1200 ton CO2 per ha. Pelepasan emisi ke udara pada hutan mengrove lebih kecil daripada hutan di daratan. Pembusukan serasah tanaman akuatik tidak melepaskan karbon ke udara.