Rabu, 05 Juni 2013

co-EVOLUSI

Evolusi ekosistem terjadi dalam kurun waktu yang tidak terbatas sebelum mencapai klimaks. Selama kurun waktu evolusi berlangsung, semua komponen ekosistem mengalami perubahan. Perubahan dimulai dari salah satu komponen, kemudian menginduksi ke komponen lainnya. Dengan demikian pada evolusi ekosistem jelas terjadi evlusi pada semua populasi-populasi yang eksis padanya. Dengan peristiwa ini para pakar ekologi merumuskan sutu konsep proses eologi yang diberi nama koevolusi.
Koevolusi adalah tipe-tipe adaptasi yang khas karena hubungan antarjenis (interspesific) makhluk hidup. Koevolusi digunakan untuk mendeskripsikan suatu keadaan yang melibatkan serangkaian adaptasi berbalikan (resiprokal); perubahan pada satu spesies yang berperan sebagai komponen seleksi untuk spesies lain, dan adaptasi perlawanan dari spesies kedua yang timbul sebagai respon pengaruh seleksi yang ditimbulkan oleh spesies pertama. Koevolusi secara intensif dipelajari dalam hubungan predator-prey dan simbiosis yang merupakan hubungan antarpopulasi makhluk hidup dalam komunitas.
Dalam artian terluas, koevolusi adalah "perubahan pada objek biologis yang dicetuskan oleh perubahan pada objek lain yang berkaitan dengannya". Koevolusi dapat terjadi pada berbagai tingkatan biologis: ia dapat terjadi secara makroskopis maupun mikroskopis. Tiap-tiap pihak dalam suatu hubungan evolusioner memberikan tekanan seleksi kepada pihak lainnya, sehingga mempengaruhi evolusi pihak lain tersebut.
Makhluk hidup akan semaksimal mugkin mengeksploitasi lingkungan kehidupannya, inilah prinsip koevolusi. Syarat terjadinya koevolusi adalah adanya pola-pola hubungan antara spsis satu dengan spesies yang lain dalam komunitas. Hubungan antara spesies ini akan memunculkan tipe-tipe adapasi yang merpakan tanda terjadinya koevolusi.
Kita membatasi diri pada beberapa populasi untuk mengungkap proses koevolusi, Suatu spesies dapat berevolusi sebagai respon dari tekanan seleksi dari banyak spesies lainnya, dan tiap-tiap spesies lainnya juga berevolusi merespon banyak spesies lainnya pula. Spesies merupakan bagian dari populasi yang peka terhadap perubahan ekologis. Perilaku ini dapat menyebabkan perubahan genetika yang kecil pada populasi yang menguntungkan satu sama lainnya. Keuntungan yang didapatkan memberikan kesempatan yang lebih besar agar karakteristik ini diwariskan kepada generasi selanjutnya. Seiring dengan berjalannya waktu, mutasi yang berkelanjutan menciptakan hubungan yang kita pantau sekarang.
Contoh kasus koevolusi adalah hubungan antara Pseudomyrmex (sejenis semut) dengan tumbuhan akasia. Semut menggunakan tumbuhan ini sebagai tempat berlindung dan sumber makanan. Hubungan antar dua organisme ini sangat dekat sehingga menyebabkan evolusi struktur dan perilaku khusus pada kedua organisme. Semut melindungi pohon akasia dari hewan herbivora dan membersihkan tanah hutan dari benih tumbuhan saingan. Sebagai gantinya, tumbuhan mempunyai struktur duri yang membesar yang dapat digunakan oleh semut sebagai tempat perlindungan dan sumber makanan ketika tumbuhan tersebut berbunga.
Contoh yang lain adalah hubungan antara populasi tumbuhan berbunga dalam genus Passiflora dengan serangga herbivore kupu-kupu Heliconius. Untuk melindungi diri dari larva herbivore ini yang memakannya, daun muda dan tunas tumbuhan Passiflora menghasilakn zat racun. Walaupun ternyata larva Heliconius mampu menoleransi zat pahit ini dengan enzim pemecah zat racun tersebut. Adaptasi balik yang diberikan Passiflora, ia memberi makan bagi serangga jenis ini dan memberi tempat untuk bertelur. Bintik daun Passiflora mengandung nectar yang mengundang serangga lain  yang sekaligus sebagai predator Heliconius. Akibat adanya kompetisi, ancaman Heliconius terhadap Passiflora sedikit terkurangi.
Suatu contoh koevolusi yang terjadi di sekitar kita misalnya di daerah sekitar Merapi. Beberapa saat yang lalu Merapi mengeluarkan materi vulkaniknya. Pada saat Merapi meletus hal ttersebut tentu menimbulkan hal-hal yang negative seperti dengan rusaknya segala sesuatu yang ada di sekitar Merapi. Tak terkecuali hewan dan tumbuhan yang ada di sekitarnya. Banyak tumbuhan yang mati karena terkena dampak meletusnya Merapi. Namun dibalik semua itu, ada sebuah hal yang tentunya akan berdampak bagi kelangsungan hewan dan tumbuhan di sekitar Merapi. Dalam jangka waktu tertentu, materi vulkanik dari merapi akan terurai di dalam tanah hingga menyebabkan tanah di sekitar Merapi akan subur. Dengan adanya tanah yang subur ini maka tumbuhan yang dulunya mungkin tumbuh sulit maka akan bias tumbuh dengan baik. Dengan keadaan tanah yang subur tentunya tumbuhan akan menyerap lebih banyak unsure hara sehingga pertumbuhannya akan lebih baik. Terutama tanaman perkebunan seperti sayur-sayuran maupun teh dan sebagainya bisa menghasilkan produk yang lebih banyak dan lebih berkualitas. Selanjutnya, dengan adanya tumbuhan yang tumbuh dengan lebih baik akan membuat hewan-hewan yang ada di sekitarnya juga berkembang dengan baik. Dengan ketersediaan makanan yang melimpah tentunya membuat hewan-hewan tersebut dapat hidup dengan baik. Dengan adanya perubahanstruktur tanah tersebut baik hewan dan tumbuhan akan beradaptasi dengan keadaan tersebut sehingga dapat tumbuh dengan baik. Hal ini tentunya akan berdampak baik untuk ke depannya, dikarenakan dengan adanya perubahan strukur tanah tersebut dapat dipastikan hasil pertanian maupun perkebunan akan lebih baik. Selain itu akan muncul varietas-vrietas yang lebih unggul daripada varietas yang ada sebelum peristiwa tersebut terjadi. Dan kehidupan penduduk di sekitarnya juga akan lebih sejahtera.

MUTASI


PENGERTIAN MUTASI
Materi genetik DNA dan RNA dapat saja mengalami perubahan karena suatu sebab. Berbagai keadaan atau factor dalam lingkungan , memang dapat menimbulkan perubahan pada DNA maupun RNA. Mutasi diartikan sebagai proses yang dapat menyebabkan suatu perubahan pada gen. Perubahan materi genetik inilah yang disebut mutasi dan hasil perubahan itu dapat (tidak selalu) diwariskan serta yang dapat (tidak selalu) dideteksi.
Mutasi itu pada dasarnya merupakan peristiwa yang lumrah terjadi, karena materi genetik itu tersusun dari esenyawa kimia  (polinukleotida). Perubahan materi genetik DNA dan RNA itu dapat berupa perubahan atau pengurangan unit penyusun, perubahan susunan, perubahan jumlah, dan sebagainya. Perubahan itu dapat berlangsung setiap kali setiap ada perubahan yang memungkinkan terjadi.

SEBAB-SEBAB MUTASI
Secara umum penyebab mutasi (spontan maupun terinduksi) adalah keadaan atau faktor-faktor lingkungan, disamping keadaan atau faktor internal materi genetik. Mutasi spontan adalah mutasi yang terjadi tanpa sebab-sebab yang jelas. Sedangkan mutasi terinduksi adalah mutasi yang terjadi karena pemaparan makhluk hidup pada penyebab mutasi semacam radiasi pengion, radio ultra violet, dan berbagai senyawa kimia.

KEADAAN ATAU FAKTOR INTERNAL MATERI GENETIK SEBAGAI SEBAB MUTASI
Keadaan atau faktor internal materi genetik yang dapat menjadi sebab terjadinya mutasi spontan adalah kesalahan pada replikasi DNA. Misalnya yang terkait dengan peristiwa tautorisme (akibat dari perubahan posisi sesuatu proton yang mengubah suatu sifat kimia molekul). Pada basa purin dan pirimidin, perubahan tautomerik mengubah sifat perikatan hidrogennya. Efek perikatan antara basa-basa prin dan pirimidin dengan pasangan tautomerik tampak pada saat replikasi DNA. Dengan demikian, sewaktu pasangan tidak lazim memisah pada replikasi berikutnya, masing-masing akan berpasangan dengan basa komplementernya dan terjadilah mutasi.
Keadaan atau faktor internal materi genetik lain yang dapat  pula menjadi sebab terjadinya mutasi spontan adalah “penggelembungan” unting di saat replikasi, perubahan kimia tertentu secara spontan, transposisi elemen transposable, dan efek non mutator. Hal ini dapat terjadi pada unting lama maka akan terjadi delesi pada unting baru, sebaliknya jika penggelembungan terjadi pada unting baru, maka akan terjadi adisi/penambahan pada unting baru tersebut.
Banyak peristiwa kimia pada DNA yang dapat menjadi sebab terjadinya mutasi spontan, yaitu depurinasi dan deaminasi basa-basa tertentu. Pada depurinasi, suatu purin tersingkir dari DNA karena terputusnya ikatan kimia antara purin dan gula deoksiribose. Sedangkan, pada deaminasi gugus amino tersingkir dari basa.
Dalam hubungannya dengan depurinasi, jika kehilangan purin itu tidak diperbaiki maka di saat replikasi tidak terbentuk pasangan basa komplementer yang lazim. Yang terjadi adalah secara acak basa apapun dapat diadakan dan pada proses replikasi berikut keadaan tersebut dapat menimbulkan mutasi, jika basa baru yang diadakan secara acak tadi tidak sama dengan basa yang mula-mula. Pada saat ini sudah silaporkan ribuan basa purin tersingkir melalui proses depurinasi selamam suatau waktu generasi tertentu dari suatu sel mamaliaa pada kondisi kultur jaringan.
Perpindahan atau transposisi elemen transposabel terbukti dapat berakibat terjadinya mutasi gen dan mutasi kromosom atau aberasi kromosom. Mutasi gen akibat transposisi tersebut, terjadi karena insersi ke dalam gen. Transposisi tersebut juga dapat mempengaruhi ekspresi gen dengan cara insersi ke dalam urut-urutan pengatur gen.
Bukti paling baik tentang peran serta transposisi elemen transposable sebagai salah satu sebab terjadinya mutasi terlihat pada Drosophila yang terbukti timbul karena insersi elemen transposable, sekalipun secara eksperimental keberhasilan perlakuan dengan elemen transposable masih jarang. Contoh-contoh alela tautan pada genom Drosophila karena insersi elemen transposable antara lain wsp, wu, wbf, whd. Keempat alella mutan yang baru disebutkan ini merupakan alela ganda yang terletak pada lokus white pada kromosom.
Pada makhluk hidup juga dikenal adanya gen yang ekspresinya mempengaruhi frekuensi mutasi gen-gen lain. Frekuensi mutasi gen-gen lain itu biasanya meningkat. Gen-gen yang mempunyai pengaruh semacam itu disebut gen mutator.

KEADAAN ATAU FAKTOR DALAM LINGKUNGAN SEBAGAI SEBAB MUTASI
Penyebab mutasi berupa keadaan atau faktor dalam lingkungan dapat dipilah menjadi yang bersifat fisik, kimiawi maupun biologis.

Lingkungan Bersifat Fisik
Penyebab mutasi yang bersifat fisik adalah radiasi dan suhu. Radiasi sebagai penyebab mutasi dibedakan menjadi radiasi pengion (energi tinggi) dan radiasi bukan pengion (energi rendah). Saat ini radiasi pengion diinduksi oleh sinar X, proton dan neuron dihasilkan mesin, maupun oleh sinar alfa, beta, gamma yang dibebaskan isotop radioaktif dari elemen  seperti P32, S35, Cobalt 90 dan sebagainya. Contoh radiasi bukan pengion misalnya radiasi sinar ultraviolet (UV). Radiasi pengion mampu menembus jaringan/tubuh makhluk hidup karena berenergi tinggi. Selama penembusan ini, sinar bertenaga tinggi ini berbenturan dengan atom-atom sehingga terjadi pembebasan elektron dan terbentuklah ion-ion positif. Ion-ion ini berbenturan dengan ion lain dan terjadi pembebasan elektron dan terbentuk ion positif lebih lanjut. Melalui cara ini terbentuklah suatu sumbu ion sepanjang jalur terobosan sinar bertenaga tinggi tersebut.
            Pada tumbuhan dan hewan tingkat tinggi sinar UV dapat menembus lapisan sel-sel permukaan karen aberenergi rendah dan tidak menimbulkan ionisasi. Sinar UV membebaskan energinya pada atom yang dijumpai, meningktkan elektron-elektron pada orbit luar ke tingkat yang lebih tinggi. Atom-atom yang memiliki elektron-elektron sedemikian dinyatakan tereksitasi. Molekul yang terionisasi atau tereksitasi secara kimiawi lebih reaktif daripada molekul yang memiliki atom-atom stabil. Reaktivitas yang meningkat dari atom-atom pada DNA merupakan dasar efek mutagenik radiasi sinar UV maupun sinar pengion. Radiasi pengion mampu menyebabkan mutasi gen dan pemutusan kromosom yang berakibat delesi, duplikasi, inversi, translokasi serta fragmentasi kromosom umumnya.
Sinar X dan sebagian besar radiasi pengion lain dinyatakan dalam satuan unit roetgen (unit r), yang diukur dalam hubungan dengan jumlah ionisasi per unit volume pada suatu perangkat kondisi standar. 1 unit r adalah suatu jumlah radiasi pengion yang menghasilkan satu muatan elektrostatik pada suatu volume 1 cm3. Dosis penyinaran unit r tidak mencakup suatu skala waktu. Dosis yang sama diperoleh melalui suatu intensitas penyinaran yang rendah selama suatu periode waktu panjang, atau melalui suatu intensitas penyinaran tinggi selama suatu periode waktu singkat.
            Hubungan linier antara frekuensi mutasi dan dosis radiasi penting dalam hubungannya dengan permasalahan “apakah ada suatu tingkat penyinaran yang aman” sekalipun sebenarnya tidak ada yang aman. Pada sperma Drosophila, penyinaran dengan dosis sangat rendah dalam jangka waktu lama terbukti efektif menginduksi mutasi seperti halnya yang diinduksi total dosis penyinaran yang sama itu diberikan pada intensitas tinggi dalam jangka waktu singkat. Pada mencit, penyinaran kronik menginduksi mutasi yang lebih sedikit dibanding dengan yang diinduksi oleh dosis yang sama pada penyinaran akut. Jika mencit diperlakukan dengan dosis penyinaran yang terputus, maka frekuensi mutasi sedikit lebih rendah daripada penyinaran dengan total dosis sama yang diperlakukan tidak terputus-putus. Perbedaan frekuensi mutasi ini mungkin ada hubungannya dengan penggantian DNA yang rusak.
            Selain berkenaan dengan radiasi pengion, perubahan tekanan oksigen dan suhu juga dapat mengubah mutasi secara signifikan. Tekanan oksigen yang rendah dapat menurunkan mutasi. Oksigen juga dapat memperbesar efek penyinaran, tetapi hanya selama penyinaran. Oksigen memperlihatkan efek yang lebih rendah pada kondisi penyinaran tinggi dibanding pada kondisi penyinaran moderat.
            Sinar UV dapat menggiatkan atom-atom yang dijumpai, meskipun telah diketahui bahwa sinar UV tidak menginduksi ionisasi. Dalam hubungan dengan molekul DNA, senyawa yang paling digiatkan yaitu purin dan pirimidin karena senyawa tersebut menyerap cahaya pada panjang gelombang 254-260 nm yang merupakan rentang panjang gelombang sinar UV. Hasil penelitian in vitro juga membuktikan bahwa pirimidin terutama  timin, sangat kuat menyerap sinar UV pada panjang gelombang 254 nm, sehingga menjadi sangat reaktif. Hasil dari penyinaran pirimidin yaitu hidrat pirimidin dan dimer pirimidin. Efek utama radiasi UV adalah dimerisasi timin. Dimer dapat menimbulkan mutasi tidak langsung dengan dua cara; (1) dimer timin mengganggu helix ganda DNA serta menghambat replikasi DNA secara akurat, (2) kesalahan yang terjadi selama proses sel untuk memperbaiki DNA yang rusak.
            Suhu sebagai penyebab mutasi sudah dilaporkan, misalnya pada beberapa jenis ikan yang menginduksi terjadinya poliploidi. Selain faktor radiasi dan suhu, ternyata perlakuan dengan tekanan hidrostatik juga dilaporkan dapat menginduksi terjadinya mutasi. Yang terjadi akibat tekanan hidrostatik ini adalah penghambatan polar body karena rusaknya spindel meiosis. Pembuatan ikan triploid dengan perlakuan tekanan hidrostatik juga sudah dilakukan, misalnya pada Brachydano rerio serta pada Salmo gairdneri.

Penyebab Mutasi Dalam Lingkungan Yang Bersifat Kimiawi
            Penyebab mutasi dalam lingkungan ini juga dapat disebut sebagai mutagen kimiawi. Mutagen-mutagen tersebut dapat dipilah menjadi tiga kelompok yaitu analog basa, agen pengubah basa, dan agen penyela.
1.      Analog Basa
Senyawa yang termasuk golongan ini adalah yang memiliki struktur molekul sangat mirip dengan yang dimiliki basa yang lazimnya terdapat pada DNA. Contohnya yaitu 5-bromourasil (disingkat 5 BU) dan 2-aminopurin (disingkat 2-AP). 5 BU adalah analog timin. Posisi karbon ke-5 ditempati oleh gugus brom, padahal posisi itu sebelumnya ditempati oleh gugus metil. Keberadaan gugus brom ini mengubah distribusi mutan serta maningkatkan peluang perubahan tautometrik. Pada bentuk keto (yang lebih stabil) 5 BU berpasangan dengan adenin; sebaliknya pada bentuk enol (yang lebih jarang), 5-BU berpasangan dengan Guanin.
            5-BU menginduksi mutasi melalui peralihan antara kedua bentukan 5-BU; jika sesaat setelah analog basa itu diinkorporasikan dalam bentuk keto (bentuk normal), maka analog basa itu berpasangan dengan adenin. Selanjutnya jika bentuk keto 5 BU beralih ke bentuk enol selama replikasi, maka analog basa itu akan berpasangan dengan guanin; dan pada proses replikasi berikut dari pasangan G-5 BU akan muncul pasangan G-C dan bukan A-T. Dalam hal ini telah terjadi mutasi transisi A-T menjadi G-C.
            Sebagai mutagen kerja analog basa 2-aminopurine (2 AP) adalah 5 BU. 2 AP juga memiliki 2 bentuk yaitu bentuk amino  (normal, berperan sebagai adenin) dan bentuk imino (jarang, berperan sebagai guanin dan berpasangan dengan sitosin). Seperti 5 BU,  2 AP juga menginduksi mutasi transisi, yaitu AC menjadi G C atau G C menjadi A T, tergantung bentuknya. 2 AP dapat mengubah kembali mutan yang diinduksi oleh 5 BU, demikian pula sebaliknya.
            Saat ini dikenal pula AZT (azidothymidine), semacam racun yang diberikan kepada penderita AIDS untuk melawan HIV. AZT berperan sebagai suatu analog timidin. AZT merupakan suatu substrat untuk enzim reversetranscriptase di saat bersintesis cDNA dari RNA (virus). Di lain pihak ternyata AZT bukan merupakan substrat yang baik untuk enzim DNA polimerase seluler. Itulah sebabnya, AZT berperan sebagai suatu racun selektif dengan cara menghambat pembentukan cDNA virus; dan dengan demikian menghalangi sintesis virus yang baru.

2.      Agen pengubah Basa
Senyawa-senyawa yang tergolong agen pengubah basa adalah mutagen yang secara langsung mengubah struktur maupun sifat kimia basa. Yang termasuk kelompok ini adalah agen deaminasi, agen hidroksilasi, serta agen alkilasi.
Sebagai agen hidroksilasi, mutagen hydroxylamine NH2OH bereaksi khusus dengan sitosin, mengubahnya dengan menambahkan gugus hidroksil, sehingga terbentuk hydroxylaminnocytocine yang hanya berpasangan dengan adenine dan sebagai akibatnya terjadi mutasi transisi CG menjadi TA. Mutasi yang disebabkan oleh mutagen hydroxylamine NH2OH berikutnya tidak dapat memulihkan  mutan yang sudah terbentuk akibat pengaruh mutagen itu sebelumnya, mutan tersebut dapat pulih karena pengaruh mutasi yang diinduksi oleh mutagen lain sperti 5 BU, 2 AP, maupun asam nitrit.

3.      Agen Interkalasi
Mutagen kimia berupa agen interkalasi bekerja dengan cara melakukan insersi antara basa-basa berdekatan dengan pada satu atau duan unting DNA. Contoh agen iterkalasi adalah proflavin, jika agen interkalaasi melakukukan insersi antara pasangan basa yang berdekatan pada DNA templat maka suatu basa tambahan dapat diinsrsikan pada unting DNA baru berpasangan dengan agen onterkalasi.
Setelah satu atau lebih dari satu kali berlangsungnya replikasi yang diikuti oleh hilangnya agen interkalasi, akibat yang muncul adalah terjadinya suatu mutasi rangka karena insersi suatu pasangan basa. Jika yang terjadi adalah insersi agen interkalasi ke dalam unting baru maka sewaktu unting ganda DNA tersebut beriplikasi sesudah hilangnya agen interkalasi, akibat yang muncul adalah terjadinya suatu mutasi rangka karena delesi satu pasang basa. Setelah terjadinya mutasi rangka, maka akan timbul akibat yaitu bahwa semua asam amino yang dikode sesudah titik mutasi dapat dikatakan menyimpang sehingga protein yang dihasilkan bersifat nonfumgsional. Dampak mutasi yang timbul karena mutasi rangka yang diinduksi oleh agen interkalasi dapat pulih kembali melalui perlakuan dengan agen-agen interkalasi.

Penyebab mutasi dalam lingkungan yang bersifat biologis
            Mutagen biologis yang sudah dilaporkan oleh fag. Efek mutagenic yang ditimbulkan fag terutama berkaitan dengan integrasi DNA fag, pemutudsan dan delesi DNA inang. Berkitan dengan profag Mu dinyatakan bahwa, karena suatu gen bakteri yang diinterupsi oleh DNA Mu biasanya tidak aktif, terjadilah mutasi inang bakteri yang diinsersi. Di lain pihak yang berkaitan dengan fag λ, menyatakan bahwa sekitar 1% lisogen yang tidak normal menghasilkan fenotip mutan, sepanjang fag tersebut masih ada. Dalam hubungan dengan pemutusdan  DNA dan delesi, dikatakan bahwa mutagenesis fag dapat terjadi karena kerusakan DNA akibat pemutusan dan delesi.

DNA Repair


DNA sebagai materi genetik yang selalu mengalami berbagai reaksi kimia dan selalu melakukan kopi DNA. Perubahan struktur DNA ini disebut mutasi DNA yang dapat terjadi pada saat proses replikasi DNA. Untuk menstabilkan hal tersebut maka DNA memiliki kemampuan untuk memperbaiki (repair) kesalahan yang terjadi pada dirinya sendiri. Jika mutasi DNA yang terjadi cukup banyak dan DNA tidak sempat untuk memperbaiki (repair) dirinya sendiri maka akan terjadi kelainan ekspresi genetic bahkan menyebabkan terjadinya penyakit genetik. Konsumsi makanan yang bergizi serta istirahat yang cukup memungkinkan tubuh untuk dapat melakukan repair DNA.
DNA repair merupakan suatu mekanisme perbaikan DNA yang mengalami kerusakan / kesalahan yang diakibatkan oleh proses metabolisme yang tidak normal, radiasi dengan sinar UV, radiasi ion, radiasi dengan bahan kimia, atau karena adanya kesalahan dalam replikasi DNA. Mekanisme perbaikan yang terdapat ditingkat selular secara garis besar disesuaikan dengan jenis kerusakan yang tentu saja terkait erat dengan jenis factor penyebabnya. Sel-sel menggunakan mekanisme-mekanisme perbaikan DNA untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan pada sekuens basa molekul DNA. Kesalahan dapat terjadi saat aktivitas selular normal, ataupun dinduksi. DNA merupakan sasaran untuk berbagai kerusakan: baik eksternal agent maupun secara spontan.
Apabila ada kesalahan / kerusakan DNA, sel mempunyai dua pilihan : 
1. Kesalahan tersebut diperbaiki dengan cara mengaktifkan DNA repair. Namun apabila kesalahan yang ada sudah tidak mampu lagi ditanggulangi, sel memutuskan untuk beralih ke pilihan kedua. 
2. Apabila DNA tidak mampu diperbaiki lagi, akibat dari adanya kesalahan yang fatal maka akan  dimatikan daripada hidup membawa pengaruh yang buruk bagi lingkungan sekelilingnya. Kemudian sel dengan DNA yang normal akan meneruskan perjalanan untuk melengkapi siklus yang tersisa yaitu S (sintesis) G2 (Gap 2) dan M (Mitosis).
Proses perbaikan DNA itu harus melibatkan berbagai macam komponen, yang sangat berperan penting dalam mekanisme perbaikan DNA tersebut. Komponen-komponen yang terlibat dalam mekanisme perbaikan DNA dapat dijelaskan secara rinci pada penjelasan berikut ini.

Komponen (enzim/protein) yang Terlibat dalam Proses DNA Repair
Base excision >> DNA glycosylase, AP Endonuklease, DNA polymerase I, dan DNA Ligase
Nucleotid exicion >> UVrA, UVrB, UVrC, DNA Ligase, dan DNA Polymerase I
Mismatch >> Dam metilase, SSB Protein, MutS, MutL, MutH, Exonuclease, DNA ligase, DNA Helicase II, dan DNA plomerase III

Mekanisme DNA repair
Pada dasarnya perbaikan DNA dapat dikelompokkan  menjadi 3 yaitu : 
1. Demage reversal : penggantian secara langsung, photoreactivation merupakan cara perbaikan DNA dengan melibatkan pembuangan atau pembalikan DNA yang rusak oleh sebuah enzim tunggal yang tergantung oleh cahaya. Pada bakteri E. Coli enzim itu dikodekan oleh gen phr. Adanya kerusakan pada suatu segmen pirimidin (timin dan sitosin) yang telah berpasangan (dimer) pada suatu struktur DNA, akan mengaktifkan suatu proses perbaikan dimana suatu kompleks protein enzim fotoreaktif akan memutuskan ikatan hydrogen tetapi tanpa memutuskan ikatan fosfodiester antar nukleotida. Perubahan urutan akan diperbaiki dengan pergantian sesame nukleotida dengan basa pirimidin, dan akan diikuti proses penangkupan kembali celah yang semula tercipta. 
2. Demage removal : proses ini lebih kompleks karena melibatkan replacing atau penggantian dengan dipotong-potong. Pada excision repair diawali dengan proses pengidentifikasian ketidaksesuaian sekuen / urutan DNA dalam suatu proses pengawasan yang dilakukan oleh endonuklease perbaikan DNA. Kompleks enzim tersebut akan menginisiasi proses pemisahan DNA heliks utas ganda menjadi suatu segmen utas tunggal. Proses ini akan diakhiri dengan pertautan kembali antara dua utas tunggal tersebut untuk kembali menjadi bagian dari heliks utas ganda, dengan perantaraan enzim DNA ligase. 
3. Demage tolerance : Mentoleransi kesalahan.Hal ini dilakukan bila kesalahan tidak dapat diperbaiki sehingga kesalahan terpaksa ditoleransi dan yang terotong adalah kedua strand. Mekanisme ini adalah sebentuk replikasi rawan kesalahan (error-phone) yang memprbaiki kerusakan-kerusakan pada DNA tanpa mengembalikan sekuens basa awal. Tipe perbaikan ini bisa dipicu oleh kerusakan DNA dalam tingkat tinggi. Pada bakteri E. Coli, system tersebut diatur oleh gen-gen recA dan umu yang dihipotesiskan mengubah fidelitas (ketepatan) polymerase DNA setempat. Dalam rose situ, polymerase melakukan replikasi melewati kerusakan DNA, sehingga memungkinkan sel untuk bertahan hidup atau sintas. Jika sel tersebut berhasil sintas melalui seluruh kerusakan DNA, besar kemungkinan sel itu mengandung satu atau lebih mutasi.

Ada 3 tipe demage removal yaitu :
(a) Base excision repair, hanya 1 basa yang rusak dan digantikan dengan yang lain. Basa-basa DNA dapat dirusak melalui deaminasi. Tempat kerusakan basa tersebut dinamakan dengan”Abasic site” atau “AP site”. Pada E.coli enzim DNA glycosilase dapat mengenal AP site dan membuang basanya. Kemudian AP endonuklease membuang AP site dan Nukleotida sekitarnya. Kekosongan akan diisi dengan bantuan DNA Polymerase I dan DNA Ligase. DNA polymerase I berperan didalam mensintesis atau menambahkan pasangan basa yang sesuai dengan pasangannya.sedangkan DNA Ligase berperan dalam menyambungkan pasangan basa yang telah disintesis oleh DNA polymerase I.

(b) Nucleotide excision repair, adalah  memotong pada  bagian / salah  satu  segmen DNA, dari DNA yang  mengalami kerusakan. Kerusakan nukleotida yang disebabkan oleh sinar UV, sehingga terjadi kesalahan pirimidin dimer (kesalahan dua basa tetangga). Pada E. Coli terdapat protein yang terlibat dalam proses pembuangan atau pemotongan DNA yang mengalami kerusakan, protein tersebut adalah UVrA, UVrB, UVrC, setelah protein tersebut mengenali kesalahan, maka nukleotida yang rusak tersebut dihilangkan (dipotong) sehingga terjadi kekosongan pada segmen untaian nukleotida tersebut. Selanjutnya untuk mengisi kekosongan tersebut maka RNA polymerase I mensintesis nukleotida yang baru untuk dipasangkan pada segmen DNA yang mengalami kekosongan tadi, tentu saja dengan bekerja sama dengan DNA ligase dalam proses penyambungan segmen DNA tersebut.

(c) Mismatch repair. Pada tahap ini yaitu memperbaiki kesalahan-kesalahan yang terjadi ketika DNA disalin. Selama replikasi DNA, DNA polymerase sendirilah yang melakukan perbaikan salah pasang. Polimerase ini mengoreksi setiap nukleotida terhadap cetakannya begitu nukleotida ditambahkan pada untaian. Dalam rangka mencari nukleotida yang pasangannya tidak benar, polymerase memindahkan nukleotida tersebut kemudian melanjutkan kembali sintesis, (tindakan ini mirip dengan mengoreksi kesalahan pada pengolah kata dengan menggunakan tombol “delete” dan kemudian menuliskan kata yang benar). Protein-protein lain selain DNA polymerase juga melakukan perbaikan salah pasang. Para peneliti mempertegas pentingnya protein-protein tersebut ketika mereka menemukan bahwa suatu cacat herediter pada salah satu dari protein-protein ini terkait dengan salah satu bentuk   dari kanker usus besar. Rupanya cacat ini mengakibatkan kesalahan penyebab kanker  yang berakumulasi di dalam DNA. Pada intinya mekanisme perbaikan mismatch ini mendeteksi terlebih dahulu pasangan basa yang tidak “cocok (matched)” atau tidak berpasangan dengan benar. Kesalahan berpasangan basa atau mismatch dapat terjadi saat replikasi ataupun rekombinasi DNA, dimana untuk memperbaiki basa yang tidak berpasangan, terlebih dahulu harus diketahui pasangan basa mana yang mengalami kesalahan basa pada untai DNA. Caranya segmen DNA yang membawa basa yang salah dibuang, sehingga terdapat celah (gap) di dalam untai DNA. Selanjutnya dengan bantuan enzim polymerase celah ini akan diisi oleh segmen baru yang membawa basa yang telah diperbaiki, yang kemudian dilekatkan dengan bantuan enzim ligase.