Latar belakang
Parasitoid adalah serangga yang stadia
pradewasanya menjadi parasit pada atau di dalam tubuh serangga lain, sementara
imago hidup bebas mencari nektar dan
embun madu sebagai makanannya. Serangga yang diparasit
atau inangnya akhirnya mati ketika parasitoid menyelesaikan perkembangan
pradewasanya. Parasitoid biasanya berukuran lebih kecil daripada inangnya
(Shelton, 1993).
Musuh alami, seperti parasitoid sering
digunakan untuk mengendalikan hama.
Pengendalian hayati ini
mempunyai beberapa kelebihan
dibandingkan dengan cara kimia, antara lain tidak menimbulkan pencemaran
lingkungan. Siklus hidup parasitoid yang
lebih pendek dibandingkan
inangnya dapat menekan
laju pertumbuhan inangnya (Wanta, 2003). Menurut Goulet dan Huber (1993),
eksplorasi parasitoid untuk mengendalikan hama terutama dari ordo Lepidoptera
dapat dilakukan pada stadia pupa, dimana hama atau inang sedang berkembang
menjadi pupa.
Pemahaman parasitoid dalam mengendalikan hama sangat diperlukan oleh praktikan sebagai
informasi dasar mengenai perkembangan parasitoid di dalam tubuh inang dan ciri-ciri
objek (tubuh inang) yang sudah terparasiti oleh parasitoid. Oleh karena itu
perlu dilakukan praktikum mengenai parasitoid ini.
Rumusan masalah
Rumusan masalah dari praktikum ini
meliputi: 1. Bagaimana perkembangan parasitoid di dalam tubuh inang?
2. Bagaimana ciri-ciri objek (tubuh inang) yang sudah terparasiti oleh parasitoid atau belum?
Tujuan
Tujuan dari praktikum ini meliputi:
1. Mengetahui perkembangan parasitoid di dalam tubuh inang?
2. Mengetahui ciri-ciri objek (tubuh inang) yang sudah terparasiti oleh parasitoid atau belum?
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ciri-ciri Pupa yang Sudah Terparasiti
oleh Parasitoid.
Parasitoid adalah
serangga yang stadia pradewasanya menjadi parasit pada atau di dalam tubuh
serangga lain, sementara imago hidup bebas mencari nektar atau madu sebagai
makanannya. Serangga yang diparasit akhirnya mati ketika parasitoid
menyelesaikan perkembangan pradewasanya (Shelton, 1993). Pupa yang terparasiti
menunjukkan warna yang berbeda-beda sejalan dengan lamanya waktu perkembangan
parasitoid di dalamnya. Pada hari pertama pupa berwarna kuning keemasan (Gambar
1a), tetapi pada hari ketiga menunjukkan perubahan warna yaitu pupa menjadi
menghitam (Gambar 1b). Hal tersebut dapat diduga bahwa di dalam pupa telah
menunjukkan adanya perkembangan parasitoid. Pada hari kelima warna hitam pada
pupa semakin jelas dan menunjukkan seperti terdapat garis-garis warna hitam
(Gambar 1c). Pada hari ke enam sebagian sisi pembungkus pupa terlihat
transparan (Gambar 1d), hingga sampai pada hari ke delapan terlihat transparan
secara keseluruhan (Gambar 1e).
Gambar
1. Perubahan warna pembungkus pupa selama pengamatan: (a). hari ke-1, (b). hari
ke-3, hari ke-5, hari ke-6, dan hari ke-8
Hasil praktikum ini sesuai dengan
penelitian yang telah dilakukan oleh Valindria (2012), pupa inang yang
terparasit akan menunjukkan perubahan gejala setiap harinya hingga imago
parasitoid muncul. Hal ini disebabkan oleh reaksi tubuh inang yang terparasit
terhadap perkembangan parasitoid di dalamnya.
Hal ini sesuai dengan pendapat Kalshoven (1981) yang menyatakan bahwa pupa sebagai
inang akan mati dalam beberapa hari
setelah terparasit oleh imago betina.
Berdasarkan hasil pengamatan yang telah
dilakukan dapat diketahui bahwa parasitoid yang berkembang di dalam tubuh pupa
memerlukan waktu ± 2 minggu. Parasitoid yang keluar dari dalam pupa berjumlah
20 ekor (Gambar 2a). Pada hari ke sembilan pengamatan keluar parasitoid
berukuran ± 7 mm, berwarna hitam dan kuning, dan mempunyai sepasang antena
(Gambar 2b). Parasitoid tersebut keluar dengan cara melubangi pupa yang
berukuran ± 2,1 cm (Gambar 2c). Hasil identifikasi yang telah dilakukan, diduga
bahwa parasitoid yang berkembang merupakan Brachymeria
sp. Menurut Joseph dkk. (1973), Brachymeria
sp. termasuk ke dalam ordo Hymenoptera, Superfamili Chalcidoidae dan Famili Chalcididae.
Brachymeria sp. termasuk ordo
Hymenoptera famili Chalcididae yang berukuran sedang (2-7 mm) dengan femur belakang sangat menggembung dan
bergeligi, mempunyai alat peletakan telur (ovipositor) yang sangat pendek dan
sayap-sayap tidak terlipat secara longitudinal saat beristirahat (Boror dkk.,
1996). Parasitoid ini memiliki ciri fisik bewarna hitam dengan ukuran tubuh mencapai 12 mm dan tungkai belakang
bagian femur membesar. Imago betina
dapat dibedakan melalui ovipositornya.
Jumlah telur parasitoid Brachymeria
sp. sangat bervariasi sesuai dengan
ukuran inang. Perkembangan parasit umumnya berlangsung cepat. Siklus hidup
parasitoid ini berkisar antara 12-13
hari (Kalshoven 1981).
Gambar 2.
Parasitoid yang keluar dari pupa: (a) dan (b). Brachymeria sp. dan (c). pupa yang terparasiti oleh parasitoid
Brachymeria sp. merupakan
endoparasitoid yang bersifat gregarious yaitu apabila ukuran inangnya besar,
tetapi soliter apabila ukuran inangnya kecil. Imago parasitoid meletakkan telur
dalam pupa yang baru terbentuk. Pupa
inang yang terparasit akan mati dalam satu atau dua hari, kemudian mengeras dan kaku ketika parasitoid di
dalamnya telah menetas dari telurnya. Telur yang dihasilkan oleh induk
parasitoid diletakkan pada permukaan
kulit inang atau dimasukkan langsung ke dalam tubuh inang dengan tusukan
ovipositornya. Larva yang keluar dari telur kemudian menghisap cairan tubuh
atau memakan jaringan bagian dalam tubuh inang (Kalshoven 1981).
Perbedaan
Endoparasit, Ektoparasit, Parasitoid Larva, Telur, Soliter, dan Gregarius
Parasit merupakan
organisme yang hidup untuk sementara maupun tetap di dalam atau pada permukaan
organisme lain untuk mengambil sebagian atau seluruh makanan dari organisme
tersebut. Menurut Sandjaja (2007), berdasarkan letak atau tempat parasit hidup,
maka parasit dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: ektoparasit dan endoparasit. Ektoparasit
merupakan jenis parasit yang hidup di luar atau permukaan tubuh inang. Salah
satu contoh ektoparasit adalah kutu rambut (Pediculus
humanus), sedangkan endoparasit merupakan jenis parasit yang hidup di dalam
tubuh inang. Menurut Natadisastra dan Agoes (2009), endoparasit mempunyai
kemampuan untuk beradaptasi terhadap jaringan inang sehingga tidak menimbulkan
kerusakan serta gejala klinis yang berat. Salah satu contoh endoparasit adalah
cacing tambang yang hidup dalam usus manusia.
Menurut Jumar
(2000), berdasarkan fase tumbuh inang yang diserang, parasitoid dapat dibedakan
menjadi parasitoid telur, parasitoid larva, parasitoid telur-larva, parasitoid
larva-telur, parasitoid pupa, dan parasitoid imago. Parasitoid telur merupakan
parasitoid yang menyerang inang pada fase telur dan bersifat endoparasitoid.
Contoh dari parasitoid telur adalah Anagrus
optabilis (Hymenoptera: Mymaridae) merupakan parasitoid telur wereng coklat
dan wereng lainnya dan Ooencyrtus
malayensis (Hymenoptera: Encyrtidae) sebagai parasitoid telur walang
sangit. Parasitoid larva merupakan parasitoid yang menyerang inang yang berada
pada fase larva dan ulat. Salah satu contoh dari parasitoid larva adalah Apanteles erionotae (Hymenoptera:
Braconidae) yang menyerang larva penggulung daun pisang. Parasitoid telur-larva merupakan parasitoid
yang berkembang mulai dari telur hingga larva. Salah satu contoh parasitoid
telur-larva adalah Chelonus sp.
(Hymenoptera: Braconidae) yang menyerang penggerek mayang kelapa. Parasitoid
larva-pupa merupakan parasitoid yang berkembang mulai inang dalam bentuk larva
sampai menjadi pupa. Parasitoid ini lebih menyukai larva instar terakhir yang
akan menjadi pupa. Salah satu contoh parasitoid larva-pupa adalah Tetrestichus brontispae (Hymenoptera:
Eulopidae) yang menyerang Brontispa. Parasitoid
pupa merupakan parasitoid yang menyerang inang pada fase kepompong (pupa).
Salah satu contoh parasitoid pupa adalah Opius
sp. (Hymenoptera: Braconidae) yang memparasit kepompong lalat buah. Parasitoid
imago merupakan parasitoid yang menyerang serangga dewasa. Salah satu contoh
parasitoid imago adalah Comperiella
unifasciata (Hymenoptera: Encyrtidae) yang memparasit Aspidiotus rigidus.
Apabila dalam satu
individu inang hanya terdapat satu ekor parasitoid yang tumbuh dan berkembang
secara normal sampai dewasa, maka parasitoid tersebut dikatakan sebagai parasitoid
soliter. Contohnya adalah seekor Xanthopimpla
flavolineata (Hymenoptera: Icneumonidae) ke luar dari tiap kepompong
penggerek batang padi dan hama putih palsu. Sebaliknya, jika beberapa ekor
parasitoid dapat berkembang secara normal menjadi dewasa dalam satu individu
inang, maka parasitoid tersebut dikatakan sebagai parasitoid gregarius.
Contohnya adalah Trichomalopsis
apanteloctena yang dapat muncul sebanyak 20-50 ekor dari kepompong ulat
herperiid yang terparasit (Jumar, 2000).
Proses penemuan inang oleh
parasitoid merupakan sebuah proses yang sangat kompleks dan sophisticated, dimana proses itu
perbedaannya tergantung pada jarak inang (long
atau short range). Proses perilaku
pencarian inang pada parasitoid dapat dikategorikan menjadi 2, yaitu penemuan
habitat inang (host habitat finding),
dimana merupakan proses pencarian habitat inang dan host location yang merupakan proses pencarian inang dalam habitat
inang (Purnomo, 2010).
Proses penemuan inang pada
jarak yang panjang selalu ditentukan secara kemikal, berupa kairomon atau synomonyang secara umum berasal dari: (1). diproduksi oleh inang
itu sendiri, yang berupa kotoran inang, selama ganti kulit, selama proses makan
dan feromon agregasi, atau kairomon (2).
tanaman dimana inang menyerang berupa synomon
untuk parasitoid, dan (3). berasal dari interaksi antara inang dan tanaman
inang seperti kerusakan selama proses makan inang, yang berupa synomon pada parasitoid. Senyawa kimia
sanagat menentukan dapat tidaknya parasitoid mengidentifikasi arah dimana inang
itu berada (Purnomo, 2010).
Proses penemuan inang dalam
jarak pendek oleh parasitoid sangat ditentukan oleh senyawa kimia tertentu yang
memberitahukan kepada parasitoid itu bahwa inangnya sudah dekat, yang membuat
parasitoid semakin mengitensifkan pencariannya pada area tertentu. Senyawa
kimia ini sering dinamakan arretant
yang berupa senyawa kimia yang kuarang volatile
dibandingkan senyawa attractans.
Senyawa ini sering diprodukis inang ketika dalam proses makan atau peletakan
telur (Purnomo, 2010).
Ketika inang sudah
ditemukan, beberapa senyawa kimia dan tanda-tanda fisik akan memacu parasitoid
untuk meletakkan telurnya, disebut oviposisi. Telur dapat diletakkan dalam
hitungan detik seperti pada Ichneumonid yang menyerang larva Lepidoptera atau
juga bisa membutukan waktu beberapa jam. Ektoparasitoid umumnya membunuh inang
terlebih dahulu dengan menggunakan venom sebelum dapat melakukan oviposisi
untuk mencegah inang itu menyingkirkan telurnya yang diletakkan pada permukaan
uar tubuh si inang. Hal itu juga membantu melindungi larva parasitoid yang
memakan permukaaan luar tubuh inang (Purnomo, 2010).
Pengendalian hayati
menggunakan parasitoid merupakan upaya menggunakan musuh alami berupa
parasitoid. Pengendalian hayati ini mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan
dengan cara kimia, antara
lain tidak menimbulkan pencemaran lingkungan (Wanta,
2003). Menurut Untung (1996), sebagai agensia pengendalian hayati parasitoid sangat baik digunakan dan selama ini yang paling
sering berhasil mengendalikan hama dibandingkan dengan kelompok agensia
pengendalian lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Let's share!