Latar belakang
Penyakit Demam
Berdarah Dengue (DBD) yang biasa
disebut Dengue Haemorrahagic Fever (DHF) merupakan satu dari beberapa penyakit
yang menjadi masalah kesehatan di dunia terutama di negara berkembang. Penyakit
ini disebabkan oleh virus dari familia Flaviridae yang ditularkan oleh serangga
(Arbovirus) yang menjadi vektor utama nyamuk Aedes aegypti Linn.
dan nyamuk kebun Aedes albopictus
Skuse (Kristina dkk., 2004).
Penularan penyakit DBD akan terus
meningkat apabila tidak adanya upaya pemberantasan serta akibat tingginya
kontak dengan nyamuk vektor DBD (Budiyanto, 2005). Pengendalian yang umum dilakukan adalah menggunakan
bahan kimia, namun penggunaan secara berlebihan akan menyebabkan resistensi
vektor virus dengue, pencemaran lingkungan, serta terbunuhnya musuh
alami (organisme non target). Oleh karena itu, diperlukan metode pengendalian
yang lebih mengutamakan keamanan lingkungan dengan pengendalian secara biologi
yaitu dengan memanfaatkan toksin dari Bacillus thuringiensis (Belows and
Fisher, 1999). Penggunaan bakteri Bacillus thuringiensis lebih ramah lingkungan
karena mempunyai target yang spesifik (tidak mematikan serangga non target) dan
mudah terlarut sehingga tidak terakumulasi dan mencemari lingkungan. Ciri utama
Bacillus thuringiensis adalah kemampuannya untuk memproduksi toksis kristal
protein (δ-endotoksin) yang mampu menimbulkan paralisis saluran pencernakan
larva serangga. Pada umumnya kristal Bt di alam bersifat protoksin, karena
adanya aktivitas proteolisis dalam sistem pencernaan serangga yang dapat mengubah
Bt-protoksin menjadi polipeptida yang lebih pendek dan bersifat toksin (Blondine
and Widyastuti, 2001).
Pengembangan insektisida mikrobial
(bioinsektisida) yang memanfaatkan isolat Bacillus thuringiensis merupakan langkah awal yang
penting sebagai bahan dasar produksi bioinsektisida. Hal tersebut dikarenakan
sifat unggul bakteri Bacillus thuringiensis pembentuk spora tersebut
untuk dijadikan sebagai agen pengendalian vektor penyakit. Berdasarkan uraian
di atas maka perlu dilakukan pengujian toksisitas Bacillus thuringiensis
pada berbagai konsentrasi terhadap mortalitas larva nyamuk Aedes aegypti
sebagai upaya untuk pengendalian yang ramah lingkungan.
Rumusan masalah
Rumusan masalah
dari praktikum ini meliputi:
1.
Bagaimana
persentase kematian larva nyamuk pada setiap konsentrasi Bacillus thuringiensis?
2.
Bagaimana
Total Viable Spore Count (TVSC) Bacillus thuringiensis?
3.
Bagaimana
mekanisme Bacillus thuringiensis
dalam membunuh larva nyamuk?
Tujuan
Tujuan dari
praktikum ini meliputi:
1. Mengetahui
persentase kematian larva nyamuk pada setiap konsentrasi Bacillus thuringiensis?
2.
Mengetahui
Total Viable Spore Count (TVSC) Bacillus thuringiensis?
3.
Mengetahui
mekanisme Bacillus thuringiensis
dalam membunuh larva nyamuk?
Persentase Kematian Larva Nyamuk pada Setiap Konsentrasi Bacillus thuringiensis
Gambar
1. Persentase kematian larva nyamuk pada setiap konsentrasi Bacillus thuringiensis
Berdasarkan grafik di atas menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan rata-rata jumlah mortalitas larva nyamuk pada tiap
pengenceran isolat Bacillus thuringiensis.
Pemberian Bacillus thuringiensis dengan
pengenceran yang berbeda menyebabkan mortalitas larva yang tertinggi
pada pengenceran ke-2 sedangkan mortalitas larva terendah terdapat pada pengenceran
ke-5 (Gambar 1). Hal ini menunjukkan bahwa efektivitas Bacillus thuringiensis
sebaiknya dilakukan pada pengenceran ke-. Blondine dan Widyastuti (2013) menyatakan bahwa kematian
larva akan terjadi apabila kristal endotoksin tertelan oleh larva nyamuk yang
akan terjadi paralisis usus diikuti kematian larva nyamuk. Kristal protein
toksin diproduksi di dalam sel Bacillus thuringiensis bersama-sama spora
pada waktu sel mengalami sporulasi. Bakteri Bacillus
thuringiensis bersifat patogen terhadap serangga ordo Diptera, Lepidoptera,
dan Coleoptera karena menghasilkan endotoxin yang bersifat letal apabila
termakan oleh serangga tertentu. Bacillus
thuringiensis merupakan agen biologis yang memilki patogenitas tinggi
terhadap larva nyamuk. Bacillus thuringiensis
dapat bekerja membunuh larva dengan cepat dalam beberapa hari setelah aplikasi,
namun pada kebanyakan situasi Bacillus
thuringiensis akan kehilangan
keefektifannya dalam 1-4 minggu. Efektifitas dan efikasi Bacillus thuringiensis diketahui banyak dipengaruhi oleh
berbagai faktor disekitarnya yaitu kebiasaan makan larva karena sangat
mempengaruhi banyaknya inokulum yg dikonsumsi (Yuniarti dan Damar, 2008).
Mekanisme Bacillus thuringiensis dalam Membunuh
Larva Nyamuk
Bacillus thuringiensis mempunyai dua fase
dalam siklus hidupnya, yaitu fase germinasi dan fase sporulasi. Fase germinasi
adalah fase pertumbuhan yang terjadi ketika Bacillus thuringiensis hidup di tempat yang kaya dengan sumber nutrisi. Bacillus thuringiensis akan tumbuh dan
memperbanyak diri dengan membelah diri. Fase sporulasi dimulai apabila sumber
nutrisi di lingkungannya menipis atau habis. Selain itu dapat disebabkan karena
adanya tekanan kondisi lingkungannya, seperti kekeringan atau suhu yang tinggi.
Pada kondisi ini Bacillus thuringiensis akan membentuk endospora. Endospora Bacillus thuringiensis mampu bertahan hidup
pada kondisi kekeringan, suhu tinggi, maupun adanya pelarut organik. Spora akan
mengalami fase germinasi kembali apabila kondisi lingkungannya membaik dan kaya
akan bahan makanan (Sanchis, 2010).
Kristal protein
yang dihasilkan Bacillus thuringiensis merupakan protoksin, toksin yang sesungguhnya timbul setelah adanya
proteolisis di dalam saluran pencernaan serangga. Menurut (Hossa dkk., 2012), kristal
yang masuk ke saluran pencernaan serangga yang rentan terhadap toksin, akan
berubah menjadi aktif setelah melalui serangkaian proses, yaitu: Kristal
protein Bacillus thuringiensis masuk ke dalam saluran pencernaan larva serangga. Di usus tengah
serangga yang bersifat sangat basa, kristal protein akan larut menjadi bentuk
protoksin. Protoksin terurai oleh kerja enzim-enzim protease dalam usus tengah
serangga menjadi fragmen-fragmen yang lebih beracun. Fragmen-fragmen beracun tersebut
berikatan pada reseptor khusus, yaitu cadherin dan aminopeptidase, yang
terdapat pada membran sel-sel epithel usus tengah. Ikatan reseptor-fragmen
beracun menyebabkan kebocoran pada epithelium usus tengah, sehingga
permeabilitas sel-sel terganggu dan mengganggu pengangkutan ion Na+
dan K+
Setelah sel-sel
dinding usus tengah lisis, bakteri-bakteri yang ada di usus tengah akan masuk
ke dalam rongga tubuh dan menggunakan haemolimfe serangga sebagai media
pertumbuhan, yang menyebabkan septisemia (keracunan haemolimfe oleh bakteri),
setelah 2-3 hari serangga inang mati. Ada dua pendapat tentang peranan Bacillus thuringiensis di dalam terjadinya
septisemia. Pendapat pertama, septisemia disebabkan oleh Bacillus thuringiensis dan bakteri-bakteri
yang ada di usus tengah. Pendapat kedua, B. thuringiensis tidak berperan di
dalam terjadinya septisemia, tetapi septisemia disebabkan oleh bakteri usus
tengah seperti Enterobacter sp. dan Escherichia coli (Gama, 2013; Ahmed,
2013).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Let's share!