Jumat, 16 Oktober 2015

UJI TOKSISITAS Bacillus thuringiensis PADA BEBERAPA KONSENTRASI BERBEDA TERHADAP LARVA NYAMUK

PENDAHULUAN
Latar belakang
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) yang biasa disebut Dengue Haemorrahagic Fever (DHF) merupakan satu dari beberapa penyakit yang menjadi masalah kesehatan di dunia terutama di negara berkembang. Penyakit ini disebabkan oleh virus dari familia Flaviridae yang ditularkan oleh serangga (Arbovirus) yang menjadi vektor utama nyamuk Aedes aegypti Linn. dan  nyamuk kebun Aedes albopictus Skuse (Kristina  dkk.,  2004).
Penularan penyakit DBD akan terus meningkat apabila tidak adanya upaya pemberantasan serta akibat tingginya kontak dengan nyamuk vektor DBD (Budiyanto, 2005).  Pengendalian yang umum dilakukan adalah menggunakan bahan kimia, namun penggunaan secara berlebihan akan menyebabkan resistensi vektor virus dengue, pencemaran lingkungan, serta terbunuhnya musuh alami (organisme non target). Oleh karena itu, diperlukan metode pengendalian yang lebih mengutamakan keamanan lingkungan dengan pengendalian secara biologi yaitu dengan memanfaatkan toksin dari Bacillus thuringiensis (Belows and Fisher, 1999). Penggunaan bakteri Bacillus thuringiensis lebih ramah lingkungan karena mempunyai target yang spesifik (tidak mematikan serangga non target) dan mudah terlarut sehingga tidak terakumulasi dan mencemari lingkungan. Ciri utama Bacillus thuringiensis adalah kemampuannya untuk memproduksi toksis kristal protein (δ-endotoksin) yang mampu menimbulkan paralisis saluran pencernakan larva serangga. Pada umumnya kristal Bt di alam bersifat protoksin, karena adanya aktivitas proteolisis dalam sistem pencernaan serangga yang dapat mengubah Bt-protoksin menjadi polipeptida yang lebih pendek dan bersifat toksin (Blondine and Widyastuti, 2001).
Pengembangan insektisida mikrobial (bioinsektisida) yang memanfaatkan isolat Bacillus  thuringiensis merupakan langkah awal yang penting sebagai bahan dasar produksi bioinsektisida. Hal tersebut dikarenakan sifat unggul bakteri Bacillus thuringiensis pembentuk spora tersebut untuk dijadikan sebagai agen pengendalian vektor penyakit. Berdasarkan uraian di atas maka perlu dilakukan pengujian toksisitas Bacillus thuringiensis pada berbagai konsentrasi terhadap mortalitas larva nyamuk Aedes aegypti sebagai upaya untuk pengendalian yang ramah lingkungan.



Rumusan masalah
Rumusan masalah dari praktikum ini meliputi:
1.         Bagaimana persentase kematian larva nyamuk pada setiap konsentrasi Bacillus thuringiensis?
2.         Bagaimana Total Viable Spore Count (TVSC) Bacillus thuringiensis?
3.         Bagaimana mekanisme Bacillus thuringiensis dalam membunuh larva nyamuk?

Tujuan
Tujuan dari praktikum ini meliputi:
1.     Mengetahui persentase kematian larva nyamuk pada setiap konsentrasi Bacillus thuringiensis?
2.      Mengetahui Total Viable Spore Count (TVSC) Bacillus thuringiensis?
3.      Mengetahui mekanisme Bacillus thuringiensis dalam membunuh larva nyamuk? 

HASIL DAN PEMBAHASAN
Persentase Kematian Larva Nyamuk pada Setiap Konsentrasi Bacillus thuringiensis

Gambar 1. Persentase kematian larva nyamuk pada setiap konsentrasi Bacillus thuringiensis

Berdasarkan grafik di atas menunjukkan bahwa terdapat perbedaan rata-rata jumlah mortalitas larva nyamuk pada tiap pengenceran isolat Bacillus thuringiensis. Pemberian Bacillus thuringiensis dengan pengenceran yang berbeda menyebabkan mortalitas larva yang tertinggi pada pengenceran ke-2 sedangkan mortalitas larva terendah terdapat pada pengenceran ke-5 (Gambar 1). Hal ini menunjukkan bahwa efektivitas Bacillus thuringiensis sebaiknya dilakukan pada pengenceran ke-. Blondine dan Widyastuti (2013) menyatakan bahwa kematian larva akan terjadi apabila kristal endotoksin tertelan oleh larva nyamuk yang akan terjadi paralisis usus diikuti kematian larva nyamuk. Kristal protein toksin diproduksi di dalam sel Bacillus thuringiensis bersama-sama spora pada waktu sel mengalami sporulasi. Bakteri Bacillus thuringiensis bersifat patogen terhadap serangga ordo Diptera, Lepidoptera, dan Coleoptera karena menghasilkan endotoxin yang bersifat letal apabila termakan oleh serangga tertentu. Bacillus thuringiensis merupakan agen biologis yang memilki patogenitas tinggi terhadap larva nyamuk. Bacillus thuringiensis dapat bekerja membunuh larva dengan cepat dalam beberapa hari setelah aplikasi, namun pada kebanyakan situasi Bacillus thuringiensis akan kehilangan keefektifannya dalam 1-4 minggu. Efektifitas dan efikasi Bacillus thuringiensis diketahui banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor disekitarnya yaitu kebiasaan makan larva karena sangat mempengaruhi banyaknya inokulum yg dikonsumsi (Yuniarti dan Damar, 2008).

Mekanisme Bacillus thuringiensis dalam Membunuh Larva Nyamuk
          Bacillus thuringiensis mempunyai dua fase dalam siklus hidupnya, yaitu fase germinasi dan fase sporulasi. Fase germinasi adalah fase pertumbuhan yang terjadi ketika Bacillus thuringiensis hidup di tempat yang kaya dengan sumber nutrisi. Bacillus thuringiensis akan tumbuh dan memperbanyak diri dengan membelah diri. Fase sporulasi dimulai apabila sumber nutrisi di lingkungannya menipis atau habis. Selain itu dapat disebabkan karena adanya tekanan kondisi lingkungannya, seperti kekeringan atau suhu yang tinggi. Pada kondisi ini Bacillus thuringiensis akan membentuk endospora. Endospora Bacillus thuringiensis mampu bertahan hidup pada kondisi kekeringan, suhu tinggi, maupun adanya pelarut organik. Spora akan mengalami fase germinasi kembali apabila kondisi lingkungannya membaik dan kaya akan bahan makanan (Sanchis, 2010).

Kristal protein yang dihasilkan Bacillus thuringiensis merupakan protoksin, toksin yang sesungguhnya timbul setelah adanya proteolisis di dalam saluran pencernaan serangga. Menurut (Hossa dkk., 2012), kristal yang masuk ke saluran pencernaan serangga yang rentan terhadap toksin, akan berubah menjadi aktif setelah melalui serangkaian proses, yaitu: Kristal protein Bacillus thuringiensis masuk ke dalam saluran pencernaan larva serangga. Di usus tengah serangga yang bersifat sangat basa, kristal protein akan larut menjadi bentuk protoksin. Protoksin terurai oleh kerja enzim-enzim protease dalam usus tengah serangga menjadi fragmen-fragmen yang lebih beracun. Fragmen-fragmen beracun tersebut berikatan pada reseptor khusus, yaitu cadherin dan aminopeptidase, yang terdapat pada membran sel-sel epithel usus tengah. Ikatan reseptor-fragmen beracun menyebabkan kebocoran pada epithelium usus tengah, sehingga permeabilitas sel-sel terganggu dan mengganggu pengangkutan ion Na+ dan K+
           Setelah sel-sel dinding usus tengah lisis, bakteri-bakteri yang ada di usus tengah akan masuk ke dalam rongga tubuh dan menggunakan haemolimfe serangga sebagai media pertumbuhan, yang menyebabkan septisemia (keracunan haemolimfe oleh bakteri), setelah 2-3 hari serangga inang mati. Ada dua pendapat tentang peranan Bacillus thuringiensis di dalam terjadinya septisemia. Pendapat pertama, septisemia disebabkan oleh Bacillus thuringiensis dan bakteri-bakteri yang ada di usus tengah. Pendapat kedua, B. thuringiensis tidak berperan di dalam terjadinya septisemia, tetapi septisemia disebabkan oleh bakteri usus tengah seperti Enterobacter sp. dan Escherichia coli (Gama, 2013; Ahmed, 2013). 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Let's share!